Jumat, 30 Januari 2015

Psikologi komunikasi



Faktor-faktor Yang Memperngaruhi Atraksi Interpersonal

Kesamaan Karakteristik Personal
            Menurut teori Cognitif Consistency dari Fritz Heider, manusia selalu beruusaha mencapai konsistensi dalam sikap dan prilakunya (Ingat lagi model manusia sebagai pencari konsistenkognitif, halaman 43.) kata haider,”….kita cenderung menyukai orang, kita ingin mereka memiliki sikapn yang sama dengan kita, dan jika  kita menyukai orang, kita ingin mereka memiliki sikap yang sama dengan kita, dan jika kita menyukai orang, kita ingin mereka mempunyai sikap yang sama dengan kita, “kita ingin memiliki sikap yang sama  dengan orang, Kita ingin mereka memiliki sikap yang sama dengan orang yang kita sukai, supaya semua unsur kognitif kita konsisten. Anda resah kalau orang yang anda sukai menyukai apa yang anda benci. Theodore Newcomb (1956; 1961; 1963) menelah perkembangan persahabatan diantara mahasiswa yang tingal diasrama kampus selama periode 16 minggu. Dengan engnetahui tinngkat kesamaan sikap, newcomb berhasil meramalkan siapa yang akan tertarik kepada siapa.
            Don Byren (1971) menunjukan hubungan linear antra atra atraksi dengan kesamaan, dengan mengunakan teori peneguhan dan behaviorism. Persepsi tentang adanya kesamaan mendatangkan ganjaran, dan perbedaan tidak megenakan. Kesamaan sikap kan kemampu lain dengan kita meneguhkan kemampuan kita dalam menafsirkan realitas sosial. Kita benar. Kita mendapat dukungan. Kita menyukai orang yang mendukung kita. ‘An Agreeable person,’ kata Disraeli, “is a person who agree wite me.” Dikutip dalgi dari Tubss dan Moss, 1974:93).
            Ases kesamaan ini paa kenyataan bukanlah satu-satunya determinan atraksi interpersonal akhirnya merupakan gabungan dari efek keseluruhan interaksi diantera individ. Walaupun begitu, bagi komunikator, lebih tepat untuk memulai komunikasi dengan mencari kesamaan diantara semua perserta komunikasi.

Tekanan emosional (stress)
            Bila orang berada dalam tekanan yang mencemaskannya atau harus memikul tekanan emosional, ia akan mengiginkan kehadiran orang lain. Stanly Schachter (1959) membuktikan peryataan di atas dengan sebuah eksperimen yang menyeliti efek kejutan listrik yang sangat menyakitkan. Kepada kelompok kedua diberitahuan bahwa mereka hanya akan mendapat kejutan ringan saja. Schacter menemukan diantara subjek pada kelompok pertama (kelompok yang tingkat kecemasannya tinggi), 63 persen ingin menunjukan bersama orang lain, dan diantera subjek pada kelompok kedua hanya 33 persen yang memerlukan sahabat. Schachter menyimpulkan bahwa situasi penimbul cemas meningkatkan kebutuhan akan kasih sayang. Orang-orang yang akan mengalami penderitaan bersama sama akan membentuk kelompok yang bersolidaritas tinggi. Ada orang menafsirkan penelitian ini lebih lanjut. Kalau anak-anak anda ingian rukun anda akan menjadi orang tua yang kejam (?)

Harga diri yang rendah
            Elaine Walster membayar beberapa orang mahasiswa untuk menjadi perserta dalam penelitian tentang kepribadian. Sesuai dengan rancangan peneliti, sebelum eksperimen dimulai, “subjek secara kebetulan” (sebetulnya tidak) berjumpa dengan seorang mahasiswa yang bermaksut menemui peneliti. Terjadi percakapan sambil menunggu kedatangan peneliti. Si mahasiswa menunjukan minat yang besar pada mahasiswa itu, mereka mengobrol selama 15menit, dan sang perjaka berusaha untuk mengajak bercanda. Setelah itu, subjek di beri tes kepribadian. Sebagian subjek diberi penilaian yang positif (misalnya, keprbadian dewasa, orisinal dan sensitif), setengahnya lagi diberikan penilaian negatif (misalnya, belum dewasa, anti sosial, tidak memiliki bakat kepemimpinan). Maksut walster sebagian ditinggikan harga dirinya, sebagian lagi direndahkan. Kemudian mereka diminta memberikan penilaian sejujur-jujurnya pada 5 orang, termasuk laki laki yang mengajak ngobrol. Ternyata, mahasiswa yang yang merendahkan harga dirinya cenderung lebih menyenangi laki-laki itu. Menurut kesimpulan walster, bila harga diri direndahkam, hasrat afiliasi (bergabung dengan orang lain) bertambah, dan ia makin responsif untuk menerima kasih sayang dari orang lain, dengan perkataan lain, orang yang rendah diri cenderung lebih cepat mencintai orang lain (Tubbs dan Moss, 1974)


Isolasi sosial
            Manusia adalah mahluk sosial – itu sudah diketahui orang banyak. Manusia mungkin tahu hidup terasing beberapa waktu, tetapi tidak untuk waktu yang lama. Isolasi sosial adalah pengalaman yang tidak enak. Beberapa orang peneliti telah menunjukan bahwa tingkat isolasi sosial amat besar pengaruhnya terhadap kesukaan kita pada orang lain. Bagi orang yang terisolasi—narapidana, petugas dirimba, atau penghuni pulau terpencil—kehadiran manusia merupakam kebahagiaan. Karena manusia cenderung menyukai orang yang mendatangkan kebahagiaan, maka dalam konteks isolasi sosial, kecenderungannya untuk menyenagi orang lain bertambah.
            Gain Loss Theory. Ellooutt Aronson (1972) mengembangkan gain loss theory (teori untung rugi) untuk menjelaskan atraksi interpersonal. Menurut teory ini, pertambahan prilaku yang menyenangkan dan orang lain akan berdampak positif pada diri kita. bila anda disukai orang, anda mendapat ganjaran dalam interaksi sosial. Menurut Aronson orang yang kesukaanya kepada kita bertambah akan lebih kita senangi dari pada orang yang kesukaanya kepada kita tidak berubah. Misalnya saya mengatakan kepada anda. Menurut Gain Loss Thory, anda menyenangi orang itu lebih dalam dari pada orang yang kecintaanya kepada kita tidak berubah—rata saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar