Demi Pemilu Berkualitas, Selesaikan Masalah DPT
masalah Daftar Pemilih Tetap
(DPT), dimana masih banyak pemilih yang belum terdaftar atau sudah terdaftar
tetapi tidak masuk ke DPT.
Dalam hal ini, KPU dan Bawaslu harus bertanggung jawab untuk segera menuntaskan masalah DPT, begitu juga dengan masalah e-KTP yang ditangani oleh Kemendagri. Antar instansi ini harus bekerja sama dan saling membantu, jangan saling menyalahkan atau mengklaim siapa yang benar dan siapa yang salah karena ini akan mempertaruhkan kualitas pemilu ke depan.
Keterbukaan KPU dalam menerima masukan dan rekomendasi dari partai politik maupun Bawaslu merupakan langkah positif untuk menyukseskan pelaksanaan pemilu. Semua pihak tentunya ingin DPT yang akan digunakan dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden 2014 benar-benar clear and clean.
Di tengah carut marut permasalahan Pemilu ini, masyarakat sebagai pemilih harus bersikap bijak dan memiliki kesadaran politik dengan tetap mengikuti proses Pemilu sesuai aturan dan tidak golput. Kesadaran ini harus diciptakan agar penentuan DPT tidak lagi berlarut-larut. Jika perlu,masyarakat harus mendorong dan membantu perangkat daerah masing-masing untuk segera menyelesaikan permasalahan yang ada di daerahnya. Jika masyarakat Indonesia memiliki kesadaran politik tinggi, maka Pemilu 2014 akan terlaksana dengan baik, dan ke depannya Indonesia akan memiliki sistem pemilihan dan pemimpin yang berkualitas. (Ananda Rasti/mar)
1.
SUMBER DATA, PROSEDER,SOSIALISASI,ANGGARAN
Sosialisasi Pemilu 2014, KPU sasar kelompok disabilitas
Pemilihan Umum bukan hanya milik
orang normal, penyandang disabilitas (penyandang cacat) juga mempunyai hak yang
sama dalam pesta demokrasi itu. Pesan ini lah yang disampaikan KPU saat
menyasar kelompok disabilitas di Solo.
Dalam sosialisasinya, KPU menggandeng pihak relawan. Mereka diperbantukan untuk kaum disabilitas. Seperti para penderita tuna rungu. Sosialisasi dilakukan dengan bahasa isyarat, agar para penderita disabilitas mengerti.
Menurut Ketua KPU Solo Agus Sulistyo, ada lima kelompok yang menjadi sasaran sosialisasi dari KPU. Seperti penyandang disabilitas, kelompok perempuan, marginal, keagamaan, dan pemilih pemula.
Sementara itu, salah satu penyandang disabilitas, Didit mengaku, sosialisasi ini sangat bagus. Kkarena, dengan begitu KPU bisa mengerti kebutuhan mereka.
Didit mengaku, selalu kesulitan saat pemilu berlangsung. Terutama, menyangkut tempat pencoblosan, dan akses jalan yang sulit dilalui. Untuk itu, dia berharap, kebutuhan orang-orang seperti dirinya bisa dipenuhi agar semua mendapat hak yang sama dalam pemilu.
Dengan sosialisasi ini, diharapkan tingkat partisiasi pemilih dalam Pemilu 2014, mendatang mencapai target sebesar 75 persen, dan mengetahui permasalahan terutama kepada lima kelompok masyarakat tersebut saat berada di lapangan.
Dalam sosialisasinya, KPU menggandeng pihak relawan. Mereka diperbantukan untuk kaum disabilitas. Seperti para penderita tuna rungu. Sosialisasi dilakukan dengan bahasa isyarat, agar para penderita disabilitas mengerti.
Menurut Ketua KPU Solo Agus Sulistyo, ada lima kelompok yang menjadi sasaran sosialisasi dari KPU. Seperti penyandang disabilitas, kelompok perempuan, marginal, keagamaan, dan pemilih pemula.
Sementara itu, salah satu penyandang disabilitas, Didit mengaku, sosialisasi ini sangat bagus. Kkarena, dengan begitu KPU bisa mengerti kebutuhan mereka.
Didit mengaku, selalu kesulitan saat pemilu berlangsung. Terutama, menyangkut tempat pencoblosan, dan akses jalan yang sulit dilalui. Untuk itu, dia berharap, kebutuhan orang-orang seperti dirinya bisa dipenuhi agar semua mendapat hak yang sama dalam pemilu.
Dengan sosialisasi ini, diharapkan tingkat partisiasi pemilih dalam Pemilu 2014, mendatang mencapai target sebesar 75 persen, dan mengetahui permasalahan terutama kepada lima kelompok masyarakat tersebut saat berada di lapangan.
Sosialisasi Pemilu Belum Maksimal
27 Oktober 2008 pukul 19:52
Sosialisasi Pemilu Belum MaksimalJAKARTA (SINDO, Sunday, 26 October 2008
Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus bekerja keras lagi melakukan sosialisasi
pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009.
Survei KPU di 25 provinsi dengan 2.500 responden menunjukkan pengetahuan masyarakat tentang
pemilu masih sangat minim. Hasil survei yang paling mengejutkan, ternyata sebanyak 54% responden
mengaku tidak mendapatkan informasi memadai tentang pelaksanaan pemilu. Sementara itu, hanya
12% responden yang mengetahui bulan April 2009 sebagai bulan pelaksanaan pemilu.
Anggota KPU Endang Sulastri mengatakan, responden yang mengaku mengetahui banyak informasi
tentang pemilu hanya 2%, sementara 26% responden mengaku tidak mendapatkan informasi tentang
pemilu.
Selanjutnya, 12% responden mengaku mendapatkan informasi yang cukup tentang pemilu. Yang lebih
mengejutkan lagi, hanya 12% responden yang mengetahui pelaksanaan pemilu pada April
2009.Sementara 27% responden menjawab pelaksanaan pemilu legislatif bukan bulan April 2009 dan
tidak mengetahui metode penandaan dalam pemungutan suara.
Berdasarkan hasil survei tersebut, KPU akan melakukan kampanye lewat media massa. Misalnya
iklan layanan masyarakat di TV, pembuatan brosur,liflet,dan bahan-bahan cetak lain,
ujarnya. Dia
menambahkan, sosialisasi tidak ditentukan oleh KPU. Namun,partisipasi media dan kesadaran pemilih
sangat penting dalam membantu sosialisasi.
Partisipasi pemilu menjadi tanggung jawab sosial bersama,
tandasnya. Anggota Komisi II DPR
Mahfudz Siddiq mengaku tidak kaget dengan survei yang menyebutkan bahwa sedikit anggota
masyarakat yang mengetahui pemilu. Sebab, selama ini KPU sering sibuk dengan masalah
internalnya,
tandas Mahfudz. Dengan kondisi KPU yang terus diragukan, ujar dia, seharusnya
lembaga penyelenggara pemilu ini dapat merangkul banyak pihak untuk membantu sosialisasi.
Misalnya, lembaga swadaya masyarakat yang konsentrasi pada masalah pemilu.
Menurut dia, penting juga dalam sosialisasi KPU menggandeng organisasi kepemudaan. Sebab, tidak
dapat dimungkiri, sangat banyak pemilih pemula yang akan mengikuti Pemilu 2009. Election Program
Manager The National Democratic Institute for International Affairs (NDI) Anastasia Soeryadinata
mengatakan, terhambatnya sosialisasi dari KPU tidak lepas dari anggaran yang kecil.
Dia mengungkapkan, dari informasi yang didapatkan, jika sosialisasi untuk semua tahapan di satu
desa hanya Rp1 juta. Dengan anggaran seperti itu, sosialisasi menjadi maksimal. Dengan fakta
tersebut, KPU harus menggandeng semua pihak. Salah satu yang perlu dirangkul adalah partai politik
(parpol). Sebab, menurut dia, parpol sangat berkepentingan dengan pemilih.
Dia mengungkapkan, salah satu yang perlu disosialisasikan KPU selain mekanisme penandaan dan
teknik kepemiluan adalah daftar pemilih. KPU harus menyosialisasikan secara gencar daftar pemilih
tetap (DPT) yang telah diumumkan.
Sosialisasi KPU memang sudah dikeluhkan sejak awal. Bukan hanya terkait pelaksanaan pemilu saja,
namun dalam penyusunan daftar pemilih sementara (DPS) dan mekanisme pemungutan suara. Dalam
dua hal ini, kinerja KPU juga dinilai masih lemah. (kholil)
Problematik Kepastian Anggaran Pemilukada
Penyelenggaraan
Pemilukada pada Tahun 2010 merupakan pelaksanaan pesta demokrasi lokal periode kedua di era reformasi. Salah satu factor penting untuk mewujudkan penyelenggaraan Pemilu yang
demokratis dan berkualitas adalah adanya kepastian anggaran. Dalam
mempersiapkan dan memperjuangkan kepastian anggaran Pemilukada Tahun 2010,
penyelenggara menghadapi permasalahan yang sama seperti penyelenggaraan
Pemilukada periode 2005-2008, antara lain penyelenggara Pemilukada dihadapkan
pada masa transisi penggantian perundang-undangan, pergantian keanggotaan DPRD
berserta penyusunan alat kelengkapan DPRD, pelaksanaan tahapan Pemilukada tidak
seiring dengan jadwal penyusunan dan pembahasan APBD, Pemerintah Daerah tidak
menyiapkan dana cadangan.
Ditinjau dari aspek legal formal, masalah ketidakpastian
anggaran dalam pelaksanaan Pemilukada Tahun 2005 sesungguhnya sudah
diantisipasi oleh pengambil kebijakan di tingkat pusat dengan menerbitkan
peraturan perundang-undangan. Ketentuan Pasal 234 UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menyebutkan pendanaan kegiatan Pemilukada yang
diselenggarakan Tahun 2005 dibebankan pada APBN dan APBD. Problemnya kepastian
norma tersebut tidak segera ditindaklajuti dengan peraturan teknis untuk
menjelaskan komponen belanja apa saja yang ditampung APBD dan komponen belanja
apa saja yang dibantu APBN serta pedoman penyusunan dan pengelolaan belanja
Pemilukada.
Penjelasan tentang pendanaan yang berasal dari
APBN baru diterbitkan oleh Pemerintah melalui PP No. 6 tahun 2005 yang
ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 11 Februari Tahun 2005. Sementara
berdasarkan Pasal 233 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 ditentukan untuk Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang akhir masa jabatannya pada tahun 2004
sampai dengan Juni 2005, penyelenggara Pemilukada harus melaksanakan Pemilukada
(baca: pemungutan suara) Tahun 2005 pada bulan Juni dan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan, bulan Januari Tahun 2005 KPU Kab/Kota harus
melaksanakan tahapan yang diawali dengan pembentukan badan penyelenggara
Pemilukada.
Perencanaan dan pembahasan anggaran Pemilukada
Tahun 2005 semakin berlarut larut karena baik KPU Kab/Kota, Pemerintah Daerah
dan DPRD menunggu kebijakan Pemerintah Pusat tetang pedoman penyusunan dan
peengelolaan belanja Pemilukada. Kepastian hukum tentang belanja Pemilukada
Tahun 2005 baru diterbitkan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 16 Maret
2005. Meskipun belum ada kepastian anggaran untuk mendukung penyelenggaraan
Pemilukada, KPU Kab/Kota harus tetap bekerja untuk melaksanakan tahapan. Dengan
semangat membangun kehidupan demokrasi melalui penyelenggaraan pemilukada
secara langsung, muncul inisitif beberapa penyelenggara Pemilu mengupayakan
ketersediaan anggaran Pemilukada dengan mencari pinjaman pada lembaga financial/Bank Perkreditan Rakyat dan Surat Keputusan
Pengangkatan Anggota KPU Kab/Kota digunakan sebagai jaminannya.
Penyelesaian masalah ketidakpastian anggaran
dalam Pemyelenggaraan Pemilukada Tahun 2005 diupayakan oleh Pemerintah melalui
pengaturan “sapu jagat” sebagaimana tercantum dalam Pasal 34 Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 12 tahun 2005, bahwa bagi daerah yang belum menetapkan Perda
APBD Tahun 2005 atau sudah menganggarkan tetapi belum sesuai dengan kebutuhan
dapat menyediakan/menyesuaikan anggaran mendahului Perubahan APBD dengan cara pengubah
Perda kemudian ditampung dalam Perda Perubahan APBD dan penyediaan/penyesuaian
anggaran Pemilukada menggunakan Belanja Tidak Tersangka sesuai peraturan
perundang-undangan. Ketentuan demikian terus dipertahankan sampai perubahan
terakhir – Permendagri No. 57 tahun 2009 yang digunakan sebagai pedoman
pengelolaan dan pertanggungjawaban belanja Pemilukada Tahun 2010.
Setelah penyelenggaraan Pemilukada Tahun 2005,
pendaaan Pemilukada dibebankan pada APBD. Menyadari kebutuhan anggaran
Pemilukada relative besar, untuk mengantisipasi daerah yang tidak dapat
menyediakan anggaran Pemilukada dalam satu tahun anggaran, diberikan ruang
kepada pemerintah daerah untuk menyusun dana cadangan. Kendati telah tersedia payung
hukum untuk menyusun dana cadangan, namun berdasarkan laporan KPU Kab/Kota,
pemerintah daerah hasil Pemilukada Tahun 2005-2008 tidak membentuk dana
cadangan.
Dalam rangka mempersiapkan penyelenggaraan
Pemilukada tahun 2010, pasca pelaksanaan tugas Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2009 KPU Provinsi Jawa Tengah yang memegang mandate
undang-undang No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu – memberikan
pedoman tata cara penyelenggaraan Pemilukada Kab/Kota, melakukan rapat
kerja bersama 17 KPU Kab/Kota Penyelenggara Pemilukada Tahun 2010. Melalui
forum rapat kerja tersebut, KPU Provinsi Jawa Tengah memberikan pengarahan agar
KPU Kab/Kota segera membangun komunikasi dengan pemerintah daerah untuk
penyediaan belanja hibah Pemilukada.
Karena pemerintah daerah tidak menyusun dana
cadangan, penyediaan belanja hibah Pemilukada disediakan melalui perubahan
anggaran Tahun 2009 yang pencairannya baru dapat dilaksanakan pada akhir tahun
anggaran berjalan. Sementara itu berdasarkan UU No. 22 tahun 2007 dan peraturan
KPU No. 62 Tahun 2009 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan
Pemilukada, menyebutkan bahwa tahapan Pemilukada diawali dengan kegiatan
penyusunan regulasi, sosialisasi dan pembentukan badan penyelenggara.
Bagi Kab/Kota yang jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerahnya
berakhir pada bulan Juli Tahun 2010 yaitu Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kab.
Kebumen, Kab. Purbalingga, Kab Rembang, sesuai UU No.32 tahun 2004, 5 (lima)
KPU Kab/Kota menetapkan pemungutan suara pada bulan April 2010.
Berdasarkan Pasal 42 ayat (3) dan Pasal 45 ayat
(3) UU No. 22 Tahun 2007 disebutkan bahwa PPk dan PPS dibentuk paling lambat 6
(enam) bulan sebelum pemungutan suara. Untuk itu penyelenggara Pemilukada harus
melaksanakan persiapan pembentukan badan penyelenggara pada bulan Oktober 2009,
karena jika pemungutan suara dilaksanakan pada bulan April 2010, PPK dan
PPS harus ditetapkan pada bulan November 2009. Dengan demikian dapat
dilihat permasalahan ketidaksinkronan antara pelaksanaan tahapan dengan jadwal pembahasan
dan penetapan anggaran belanja Pemilukada.
KPU kab/Kota sudah harus bekerja mempersiapkan
Pemilukada dengan kegiatan penyusunan regulasi dan sosialisasi sebelum bulan
Oktober, namun dukungan anggaran baru tersedia pada akhir Tahun 2009. Bahkan ada
KPU Kabupaten yang menerima pencairan anggaran 2 (dua) Minggu sebelum tutup
buku tahun anggaran berjalan. Ibarat acara di Televisi Swasta yang menyajikan
hiburan “Uang Kaget” seseorang diberi sejumlah uang untuk belanja dalam waktu
yang singkat. Jika hal demikian diberlakukan pada KPU yang sumber pendanaannya
dari anggaran negara tentu mengandung resiko timbulnya permasalahan dari aspek
pengelolaan maupun pertanggung jawaban anggaran. KPU Kab/Kota harus
membelanjakan anggaran Pemilukada dalam waktu yang sangat singkat dengan jumlah
uang yang relative besar.
Permasalahan anggaran Pemilukada lainnya adalah
berkaitan degan keterbatan kemampuan pemerintah daerah Kab/Kota untuk menopang
komponen belanja Pemilukada. Dalam kondisi demikian, KPU Kab/Kota diminta untuk
menyesuaikan dengan kemampuan daerah. Sementara komponen dan semua jenis
belanja Pemilukada telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan sesuai
system Pemilu yang dianut. yaitu sistem Pemilukada dua putaran atau sering
dikenal dengan istilah two round system dan diakomodirnya calon
perseorangan yang berimplikasi pada besaran anggaran.
Dengan demikian mahalnya anggaran Pemilukada
bukan atas kehendak KPU Kab/Kota sebagai penyelenggara Pemilukada, namun
perintah UU atas kesepakatan nasional membangun kehidupan demokrasi melalui
pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung yang
berimplikasi pada biaya Pemilukada.
Sistem Pemilu di Indonesia dan Peluang Money Politic
Sistem
Pemilu di Indonesia.Pemilu merupakan sarana langsung bagi masyarakat
yang cukup usia untuk berpartisipasi dalam memengaruhi pengambilan keputusan.
Tahapan proses pemilu antara lain penetapan daftar pemilih, tahap pencalonan
kandidat, tahap kampanye, tahap pemungutan serta penghitungan suara, dan hasil
perolehan suara sehingga kita dapat menentukan kandidat yang terpilih. Sistem pemilu di Indonesia harus sesuai dengan prinsip
pemilu yang bebas, langsung, jujur, adil dan rahasia. Sistem pemilu 2010 dapat
dijadikan acuan penilaian sistem pemilu di Indonesia saat ini, sistem pemilu
tahun lalu ini dapat pula dijadikan pedoman untuk mewujudkan sistem pemilu
mendatang yang lebih baik dengan cara menilai dan mengevaluasi. Penilaian
sistem pemilu ini dapat di lihat dari berbagai sudut pandang yaitu kondisi
sosial ekonomi, kondisi lembaga-lembaga politik, proses pemungutan suara,
proses pemilihan kepala daerah, tatacara pemilihan, tingkah laku masyarakat
dalam memilih, partisipasi perempuan dalam partai politik, pendapat masyarakat
mengenai demokrasi, dan munculnya masalah-masalah baru dalam pemilu. Kandidat
yang maju telah diseleksi sebelumnya karena harus memenuhi pesyaratan dan
kriteria sesuai peraturan yang berlaku.
Sistem
pemilu saat ini merencanakan banyak
pemilu kepala daerah sehingga dalam melakukan proses pemungutan suara
diperlukan informasi dan tatacara pemilu yang efektif kepada masyarakat luas.
Masyarakat Indonesia pada umumnya telah mampu mengikuti proses pemilu dan
menghormati hasil pemilu, namun pemilu di Indonesia masih banyak menghadapi
kendala-kendala dalam pelaksanaannya. Kendala utama dalam pemilu yaitu
pemberian informasi kepada masyarakat mengenai proses-proses utama dalam
pemilihan kepala daerah. Perlunya peningkatan informasi kepada masyarakat
mengenai proses pemilu yang penting seperti informasi para kandidat, proses
pencalonan kandidat, proses penghitungan suara sampia calon terpilih, kampanye
pemilu yang dilakukan, cara masyarakat mendaftar diri sebagai pemilih, tatacara
yang tepat manandai surat suara, dan dimana serta kapan kita harus memilih.
Kurangnya informasi penting mengenai proses pemilihan ini harus segera
ditangani secara serius karena hal ini sifatnya mutlak harus dimengerti oleh
masyarakat yang memilih dalam pemilu. Maka sebaiknya pembenahan dari dasar oleh
pemerintah harus segera dilakukan misalnya pendidikan dan pemberian informasi
yang lengkap terhadap masyarakat sebagai pemilih. Televisi juga bisa dijadikan
sarana efektif dalam penyampaian informasi pemilu, namun lebih efektif lagi
apabila diiringi dengan pemberian informasi melalui pendidikan formal mengenai
proses pemilu tersebut. Pemberian pendidikan proses pemilu harus memperhatikan
latarbelakang masyarakat yang bervariasi agar informasi yang disampaikan dapat
dimengerti oleh semua lapisan masyarakat Indonesia. Untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam pemilu di perlukan sumber informasi seperti
brosur, iklan di media cetak/internet, surat-surat melalui pos, kampanye iklan
di radio, poster, debat/dialog kandidat pemilu dll.
Kepercayaan masyarakat
kepada lembaga-lembaga yang berwenang dalam proses pemilu merupakan faktor penting dalam pelaksanaan
pemilu, sehingga diperlukan peran lembaga-lembaga pemilu yang efektif dan mampu
menjaga nama baiknya. Tingkat kepercayaan masyarakat pula harus di dukung oleh
anggota lembaga-lembaga pemilu yang memiliki keahlian mengatasi
masalah-masalalah pemilu dan mampu bersikap adil dengan tidak memihak salah
satu partai politik. Masyarakat pada umumnya mengajukan usulan jangka waktu
tunggu 5 tahun bagi mantan anggota komisi pemilu untuk dapat menjadi anggota
partai politik, hal ini merupakan antisipasi karena ditakutkan hubungan anggota
yang akrab antara komisi pemilu dengan anggota partai menimbulkan
persekongkolan negatif. Prinsip pemilu yang bebas, langsung, jujur, adil dan
rahasia," yang mengandung makna bahwa lembaga-lembaga pemilu harus
bertindak netral dan transparan dalam proses pemilu. Kandidat-kandidat pada
pemilu ini melakukan proses kampaye yang merupakan bentuk publikasi kepada
masyarakat dan untuk memengaruhi masyarakat supaya memilih kandidat tersebut.
Hal utama yang
harus dilakukan pemilih yaitu memastikan namanya ada dalam daftar pemilih,
namun pada umumnya telah ada petugas pemilu yang mendatangi tiap rumah untuk
mendata. Daftar pemilih harus akurat sehingga masyarakat harus menunjukkan
dokumen sah yaitu kartu pemilih dan KTP
agar proses pemilu berjalan dengan efektif. Pada praktek pemilihan, masyarakat akan dihadapkan
pada prosedur pemilihan yaitu cara
melakukan pengecekan daftar pemilih, dan cara menandai kartu suara secara
benar. Hal tersebut mutlak harus dimengerti oleh masyarakat, namun real-nya masih banyak masyarakat yang
belum paham dalam melakukan prosedur itu. Masyarakat juga mengalami kebingungan
karena cara untuk menandai surat suara selalu berubah dari satu pemilu ke
pemilu yang lain dan kurangnya informasi mengenai perubahan tersebut. Maka lembaga-lembaga pemilu harus
mulai memusatkan perhatian dalam pemberian informasi yang tepat terhadap
masyarakat untuk menyelesaikan masalah prosedur ini.
Reformasi pemilu
mengenai bertambahnya partisipasi kaum perempuan sebagai calon dalam pesaingan
partai politik mendapat dukungan masyarakat pada umumnya. Reformasi ini
didukung oleh terbukanya pandangan politik dalam persamaan perlakuan jender,
mulai adanya kesadaran bahwa partisipasi kaum perempuan kurang sekali dalam jabatan politik, dan
perlu partisipasi perempuan pada perjanjian-perjanjian internasional. Reformasi
pemilu juga terjadi pada Keputusan Mahkamah Konstitusi sebelum Pemilu 2009 yang
menghasilkan keputusan untuk merubah cara pemilihan sebelumnya menjadi
pemilihan daftar terbuka, sehingga pemilih memiliki wewenang untuk menentukan
pilihan calon pada daftar partai yang akan menduduki jabatan jika partainya
menang. Sistem pemilu di Indonesia mengalami berbagai permasalahan-permasalah,
salah satunta permasalahan kekerasan dalam pemilu. Sistem pemilu yang terbuka
ini mengakibatkan persaingan antara sesame kandidat dan antara para pendukung
partai/kandidat tersebut. Diperlukannya pengamanan yang ketat oleh pihak
berwajib supaya tidak terjadi kekerasan pada saat proses pemilu.
Kelemahan Sistem Pemilu yang Memberikan
Peluang Money Politic
Money politic
(politik uang) merupakan uang maupun barang yang diberikan untuk menyoggok atau
memengaruhi keputusan masyarakat agar memilih partai atau perorangan tersebut
dalam pemilu, padahal praktek money politic merupakan praktek yang
sangat bertentangan dengan nilai demokrasi.Lemahnya Undang-Undang dalam
memberikan sanksi tegas terhadap pelaku money
politic membuat praktek money politic
ini menjamur luas di masyarakat. Maraknya praktek money politic ini disebabkan pula karena lemahnya Undang-Undang
dalam mengantisipasi terjadinya praktek tersebut. Padahal praktek money politic ini telah hadir dari zaman
orde baru tetapi sampai saat ini masih banyak hambatan untuk menciptakan sistem
pemilu yang benar-benar anti money
politic. Praktek money politic ini sungguh misterius
karena sulitnya mencari data untuk membuktikan sumber praktek tersebut, namun ironisnya praktek money politic ini sudah menjadi kebiasaan dan rahasia umum di
masyarakat. Real-nya Sistem demokrasi
pemilu di Indonesia masih harus banyak perbaikan, jauh berbeda dibandingkan
sistem pemilu demokrasi di Amerika yang sudah matang. Hambatan terbesar dalam
pelaksanaan pemilu demokrasi di Indonesia yaitu masih tertanamnya budaya
paternalistik di kalangan elit politik. Elit-elit politik tersebut menggunakan
kekuasaan dan uang untuk melakukan pembodohan dan kebohongan terhadap
masyarakat dalam mencapai kemenangan politik. Dewasanya, saat ini banyak muncul
kasus-kasus masalah Pilkada yang diputuskan melalui lembaga peradilan Mahkamah
Konstitusi (MK) karena pelanggaran nilai demokrasi dan tujuan Pilkada langsung.
Hal itu membuktikan betapa terpuruknya sistem pemilu di Indonesia yang
memerlukan penanganan yang lebih serius. Masyarakat yang kondisi ekonominya
sulit dan pengetahuan politiknya masih awam akan mejadi sasaran empuk para
pelaku praktek money politik.
Pelaku praktek money politic ini tentu mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dalam
menjalankan prakteknya tersebut, sehingga setelah dia menerima kekuasaan maka
terjadi penyelewengan kekuasaan seperti eksploitasi APBD, kapitalisasi
kebijakan, dan eksploitasi sumber daya yang ada sebagai timbal-balik atas biaya
besar pada saat pelaku money politik
itu melakukan kampaye.Perlunya penafsiran ulang mengenai keputusan Mahkamah
Konstitusi dalam menyelesaikan masalah-masalah di pemilu yang terkadang
menyalahi aturan UU yang berlaku. Calon-calon dalam pemilu pasti melakukan
kampanye, kampaye ini memerlukan dana yang tidak sedikit. Banyak pihak-pihak
yang membantu pendanaan dalam melakukan kampanye suatu partai atau perorangan,
namun hal ini terkadang bisa di sebut suatu penyuapan politik. Pihak-pihak yang
memberikan pendanaan biasanya mengharapkan imbalan setelah partai atau
perorangan tersebut terpilih dan memegang kekuasaan. Misalnya, anggota
legislative yang terpilih tersebut membuat peraturan Undang-Undang yang memihak
pada pihak-pihak tertentu khususnya pihak yang mendanai partai atau perorangan
dalam kampanye tersebut. Dalam pemilu banyak aksi money politic yang dapat memengaruhi hasil pemilu karena aturan
yang tidak tegas bahkan petinggi negara seperti badan legislative, eksekutif,
dan yudikatif beberapa diantaranya bisa di suap sehingga petinggi negara yang
memiliki kekuasaan tersebut dengan mudah dapat menetapkan kebijakan-kebijakan
atau melakukan kecurangan yang menguntungkan pihak yang memiliki banyak uang
tesebut.
Solusi Mengatasi Money Politic
Kita sebagai
masyarakat harus ikut berpartisipasi untuk mengkaji keputusan Mahkamah
Konstitusi dalam menyelesaikan kasus-kasus pemillu agar tidak menyimpang dari
peraturan hukum yang berlaku. Calon-calon pada pemilu juga harus komitmen untuk
benar-benar tidak melakukan praktek money politik dan apabila terbukti
melakukan maka seharusnya didiskualifikasi saja. Bentuk Undang-Undang yang kuat
untuk mengantisipasi terjadinya money politic dengan penanganan serius untuk
memperbaiki bangsa ini, misalnya membentuk badan khusus independen untuk
mengawasai calon-calon pemilu agar menaati peraturan terutama untuk tidak
melakukan money politic. Sebaiknya
secara transparan dikemukan kepada publik sumber pendanaan kampaye oleh
pihak-pihak yang mendanai tersebut. Transparan pula mengungkapkan tujuan
mengapa mendanai suatu partai atau perorangan, lalu sebaiknya dibatasi oleh
hukum mengenai biaya kampanye agar tidak berlebihan mengeluarkan biaya sehingga
terhindar dari tindak pencarian pendanaan yang melanggar Undang-Undang.
Misalnya, anggota legislative yang terpilih tersebut membuat peraturan
Undang-Undang yang memihak pada pihak-pihak tertentu khususnya pihak yang
mendanai partai atau perorangan dalam kampanye tersebut.
Meningkatkan
kesadaran masyarakat merupakan indikator penting untuk memudarkan berkembangnya praktek money politic karena sebagian besar masyarakat hanya
memikirkan keuntungan sendiri tanpa menyadari efek yang timbul di masa depan.
Praktek money politic dapat
menghancurkan masa depan negara ini karena praktek money politic ini akan cukup
menguras keuangan suatu partai atau perorangan yang mencalonkan diri pada
pemilu sehingga setelah terpilih di pemilu akan memicu niat untuk tindak korupsi. Para pelaku praktek money politic ini memanfaatkan situasi
perekonomian rakyat yang semakin sulit sehingga masyarakat jangan mudah tergiur
dengan keuntungan yang diterima sementara ini. Calon pemimpin yang melakuan money politic tentu tidak berlaku jujur
sehingga sebagai masyarakat yang cerdas jangan mau di pimpin oleh seseorang
yang budi pekertinya tidak baik. Sadarilah apabila kita salam memilih pemimpin
akan berakibat fatal karena dapat menyengsarakan rakyatnya. Sebaiknya
pemerintah mengadakan sosialisasi pemilu yang bersih dan bebas money politc kepada masyarakat luas agar
tingkat partisipasi masyarakat dalam demokrasi secara langsung meningkat. Perlu
keseriusan dalam penyuluhan pendidikan politik kepada masyarakat dengan
penanaman nilai yang aman, damai, jujur dan kondusif dalam memilih. Hal
tersebut dapat membantu menyadarkan masyarakat untuk memilih berdasarkan hati
nurani tanpa tergiur dengan praktek money
politic yang dapat menghancurkan demokrasi. Pemerintah juga harus lebih
giat memberikan sosialisasi kepada kandidat yang akan di pilih oleh rakyat untuk
mengutamakan moralitas politik sehingga dapat berlaku jujur dengan tidak
melakukan praktek money politic.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar