Jumat, 30 Januari 2015

pemilihan umum di Indonesia




1.1   Latar Belakang

      Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolak ukur dari sebuah demokrasi. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan  dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan walaupun tidak begitu akurat, partisipasi dan kebebasan masyarakat. Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilihan umum (PEMILU) tidak merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, dan sebagainya.

      Di banyak negara berkembang beberapa kebebasan seperti yang dikenal di dunia barat kurang diindahkan. Seperti Indonesia, perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Selama 67 tahun berdirinya Republik Indonesia ternyata masalah pokok yang kita hadapi adalah bagaimana dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya dapat mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi disamping membina suatu kehidupan sosial dan politik yang demokratis.pada pokok masalah ini berkisar pada penyusunan suatu sistem politik dimana kepemimpinaan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation building, dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya diktator.

      Pemilihan umum juga menunjukkan seberapa besar partisipasi politik masyarakat, terutama di negara berkembang. Kebanyakan negara ini ingin cepat mengadakan pembangunan untuk mengejar keterbelakangannya, karena dianggap bahwa berhasil-tidaknya pembangunan banyak bergantung pada partisipasi rakyat. Ikut sertanya masyarakat akan membantu penanganan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan-perbedaan etnis, budaya, status sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Integritas nasional, pembentukan identitas nasional, serta loyalitas terhadap negara diharapkan akan ditunjang pertumbuhannya melalui partisipasi politik.

      Di beberapa negara berkembang partisipasi yang bersifat otonom, artinya lahir dari mereka sendiri, masih terbatas.  Di beberapa negara yang rakyatnya apatis, pemerintah menghadapi masalah bagaimana meningkatkan partisipasi itu, sebab jika partisipasi mengalami jalan buntu , dapat terjadi dua hal yaitu “anomi” atau justru “ revolusi”. Maka melalui pemilihan umum yang sering didefenisikan sebagai  “ pesta kedaulatan rakyat”, masyarakat dapat secara aktif menyuarakan aspirasi mereka baik itu ikut berpartisipasi dalam kegiatan partai, ataupun “menitipkan” dan “mempercayakan” aspirasi mereka pada salah satu partai peserta PEMILU yang dianggap dapat memenuhi , serta menjalankan aspirasi masyarakat  tyang telah dipercayakan pada partai tersebut.

     

2
 Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dan juga sebagai demokrasi yang sedang berusaha mencapai stabilitas nasional dan memantapkan kehidupan politik  juga mengalami gejolak-gejolak sosial dan politikdalam proses pemilihan umum. Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis dalam menulis makalah (papers) ini, selain sebagai pemenuhan tugas sistem politik indonesia. Dalam perkembangan kehidupan politiknya, indonesia selalu berusaha memperbaharui sistem pemlihan umumbaik itu dengan mengadopsi sistem yang ada di dunia barat ( walaupun tidak semuanya bekerja efektif di dalam negeri kita) untuk mencapai stabilitas nasional dan politik.



1.2.  Rumusan Masalah

1) Bagaimana sejarah pemilihan umum di Indonesia?
2) Bagaimana Sistem Pemilihan Umum di Indonesia ?
3) Bagaimanakah jalannya sistem pemilihan umum di Indonesia ?
4) Apa sistem pemilihan umum yang cocok di terapkan di Indonesia ? 

1.3.  Tujuan

1. Mengetahui tentang pemilihan umum
2. Mengetahui tentang sistem pemilihan umum
3. Mengetahui jalannya sistem pemilu di Indonesia
4. Mengetahui sistem pemilu yang cocok untuk Indonesia 



 PEMBAHASAN


Pemilihan umum Presiden di Indonesia
Pemilihan umum diadakan sebanyak 10 kali yaitu tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009.


Sejarah Pemilu di Indonesia
2.1  Pemilu 1955


Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun berlangsung aman.
Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota MPR dan Konstituante. Jumlah kursi MPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi MPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.
Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.



2.2  Pemilu 1971

Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 9 Partai politik dan 1 organisasi masyarakat.
Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik (yaituPartai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya.

                               
2.3  Pemilu 1977-1997

Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.

2.4  Pemilu 1999

Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.
Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaituMegawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.


2.5  Pemilu 2004

Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Yudhoyono sebagai presiden.



2.5  Pemilu 2009

Diselenggarakan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2009-2014. Pemungutan suara diselenggarakan pada 8 Juli 2009.Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.

 
KESIMPULAN
 

Di kebanyakan negara demokrasi, pemilu dianggap sebagai lambang dan tolak ukur demokrasi. Pemilu yang terbuka, bebas berpendapat dan bebas berserikat mencerminkan demokrasi walaupun tidak  beguitu akurat. Pemilihan umum ialah suatu proses pemilihan orang-orang  untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Dalam ilmu politik dikenal berbagai macam sistem pemilu dengan berbagai variasi, tetapi umumnya berkisdar pada dua prinsip pokok, yaitu : sistem distrik dan sistem proprosional.

      Sejak awal kemerdekaan Indonesia telah mengalami pasang surut dalam sistem pemilu. Dari pemilu terdahulu hingga sekarang dapat diketahui bahwa adanya upaya untuk mencari sistem pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia . sejak awal pemerintahan yaitu demokrasi parlementer, terpimpin, pancasila dan reformasi, dalam kurun waktu itulah Indonesia telah banyak mengalami transformasi          politik   dan      system            pemilu.

      Melihat fenomena  politik Indonesia, sistem pemilihan umum proprosinal tertutup memang lebih menguntungkan , tetapi harus diikuti dengan transparansi terhadap publik kalau tidak akan menimbulkan konflik   pemerintahan.

      Pada akhirnya konsilidasi partai politik dan sistem pemilihan umum sudsah berjalan denganm baik. Akan tetapi, itu belum berarti kehidupan kepartaian Indonesia juga sudah benar-benar siap untuk memasuki zaman global. Sejumlah kelemahan yang bisa diinventarisir dari kepartaian kita adalah rekrutmen politik, kemandirian secara pendanaan, kohesivitas internal,dan kepemimpinan.

SARAN

System politik 2014
Pemilihan umum merupakan proses politik yang secara konstitusional bersifat nyata bagi negara demokrasi. Sebagai sistem, demokrasi nyata-nyatanya telah teruji dan diakui paling realistik san rasional untuyk mewujudkan tatanan soaial, politik, ekonomi yang populalis, adil dan beradab, kendati bukan tanpa kelemahan. Begitu tak terbantahkannya tesis-tesis demokrasi sehingga hampir semua penguasa otoriter dan tiran menyebut sitem yang digunakannya sebagai system                       demokratis.

      Disamping menjadi prasyarat demokrasi, pemilu juga menjadi pintu masuk atau tahap awal dari proses perkembangan demokratis. Perjalanan panjang Indonesia dalam menyelenggarakan  pemilu sejak tahun 1955 memberi pelajaran berharga untuk menata kehidupan bangsa kedepan menuju kehidupan yang lebih baik. Bangsa Indonesia mempunyai komitmen yang kuat untuk menyelenggarakan pemilu 2004 dengan format berbeda dengan sebelumnya, sehingga azas langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dapat dilaksanakan secara benar, konsekuen dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum, moral,  maupun           politis.

                                                             
Dilihat dari sisi keanekaragaman masyarakat Indonesia dan kondisinya saat ini sistem proporsional tertutup lebih cocok. Mengutip pendapat dari Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk pemilu dan demokrasi (PERLUDEM) bahwa sistem pemilu proprosional untuk fenomena politik Indonesia saat ini lebih menguntungkan. Walaupun sistem pemilu tidak ada yang terbaik untuk suatu negara, yang terpernting adalah mencari sistem pemilu yang cocok dan pas dengan suatu negara. Sebelum memutuskan hal tersebut , juga harus pas dengan instrumen yang lain. Dengan sistem proprosional tertutup nanti biaya bisa ditekan karena partai politik menjadi satu-satunya pengendali dana kampanye. Selain itu juga bisa menutup terbukanya peluang persaingan yang tidak sehat antara para caleg. Bukan berarti sistem proporsional tertutup itu tanpa prasyarat, kalau tidak nantinya akan terjadi oligarkhi. Meski dibilang tertutup bukan berarti publik tidak tahu sama sekali. Tetap ada daftar caleg yang disampaikan kepada KPU untuk diumumkan. Sistem parliamentary thresold (PT) akan mengurangi drastis jumlah partai di parlemen. Namun dalam multipartai sederhana tidak berkaitan dengan besaran parliamentary thresold . tujuan adanya PT adalah ingin menyederhanakan partai dan juga proprosionalitas.                                                                                                                                                                 
      Yang diperketat untuk pemerintahan efektif adalah ambang batas fraksi di parlemen ketimbang angka PT tinggi. Makin tinggi PT maka indeks ketidak proporsionalan makin tinggi. Selain itu perlu adanya transparansi keuangan partai. Sebelumnya, memena setiap pemilu rasanya negeri ini diancam taring-taring perbedaan landasan yang menjadi basis setiap organisasi pesreta pemilu.  Yang satu mengatasnamakan agama, yang satu mengatasnamakan pancasila dan yang satunya lagi mengatasnamakan nasionalis. Meski ketiganya juga bersikeras sebagai kekuatan politiik pancasila. Kompetensi politik dengan demikian lebih mempunyai potensi untuk terbentuknya konflik politik. Tidak ada yang lebih mengerikan bagi setiap negara berkembang daripada itu.

Seiring dengan perkembangan zaman, perkembangan kehidupan politik Indonesia semakin kompleks. Diharapkan dengan semakin banyaknya pengalaman dan perkembangan politik Indonesia dapat menciptakan stabilitas nasional. Tugas pembangunan kehidupan politik pada masa yang akan datang bukan hanya tugas partai politik saja, tetapi semua elemen pemerintahan dan tidak ketinggalan masyarakat juga harus ikut berpartisipasi mengembangkan perpolitikan di Indonesia. Manejemen dan kepemimpinan juga haruis terus ditingkatkan, ongkos politik yang tidak terlalu mahal  dan transparansi terhadap publik harus dekembangkan dan ditumbuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar stabilitas nasional dan politik kita semakin kokoh
 • Bagi pemerintah, hendaknya merumuskan kebijakan mengenai Pemilu dengan sebaik-baiknya, menyeleksi jumlah partai dengan ketat, dan melakukan sosialisasi politik secara maksimal kepada masyarakat dan sebaiknya pemerintah membuat  pembenahan misalnya pendidikan dan pemberian informasi yang lengkap terhadap masyarakat sebagai pemilih.
 • Bagi partai politik, hendaknnya memaksimalkan fungsi-fungsi partai yang berkaitan dengan komunikasi, partisipasi, dan sosialisasi untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakatdan tidak melakukan praktek money politic.
 • Bagi masyarakat, supaya tidak mau menerima praktek money politic yang dilakukan oleh partai politik, agar tidak menyesal untuk kedepannya dan tidak golput dalam pemilihan dan juga harus peka terhadap partai politik.
 • Bagi praja, seharusnya praja lebih  peduli terhadap informasi terkait dengan perkembangan perpolitikan di Indonesia untuk meningkatkan pandangan dan pemikiran aktual mengenai kondisi bangsa sehingga dapat menularkan ilmu yang didapat kepada orang-orang yang disekitarnya yang belum mengerti tentang pemilu.

makalah masalah-masalah pemilihan umum


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD, dan DPD. Setelah amandemen ke-IV UUD 1945 pada 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukan ke dalam rezim pemilihan umum. Pilpres sebagai bagian dari pemilihan umum diadakan pertama kali pada pemilu 2004. pada 2007, berdasarkan UU No.22 Tahun 2007, pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) juga dimasukan sebagai bagian dari rezim pemilihan umum. Ditengah masyarakat, istilah “pemilu” lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan lima tahun sekali.

Pemilihan umum telah dianggap menjadi ukuran demokrasi karena rakyat dapat berpartisipasi menentukan sikapnya terhadap pemerintahan dan negaranya. Pemilihan umum adalah suatu hal yang penting dalam kehidupan kenegaraan. Pemilu adalah pengejewantahan sistem demokrasi, melalui pemilihan umum rakyat memilih wakilnya untuk duduk dalam parlemen, dan dalam struktur pemerintahan. Ada negara yang menyelenggarakan pemilihan umum hanya apabila memilih wakil rakyat duduk dalam parlemen, akan tetapi adapula negara yang juga menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih para pejabat tinggi negara.

Umumnya yang berperan dalam pemilu dan menjadi peserta pemilu adalah partai-partai politik. Partai politik yang menyalurkan aspirasi rakyat dan mengajukan calon-calon untuk dipilih oleh rakyat melalui pemilihan itu. Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu: singel member constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil, biasanya disebut sistem distrik). Multy member constituenty (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan proporsional representation atau sistem perwakilan berimbang).

B. Rumusan Masalah
Salah satu aspek yang menentukan keberhasilan pemilikhan umum yang bisa memberikan kontribusi bagi sistem politik yang demokratis, dan efektif yang sedang giat-giatnya dilaksanakan adalah sistem proses pemilihan umum yang luber, yang matang mengenai sistem pemilu proporsional dan pemehaman yang luas dari pemerintah. Berdasarkan pernyataan ini maka rumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah sistem pemilu 2009?
2. Faktor-faktor apa yang menmjadi kelebihan dan kekurangan pada pemilu ?



A. Pembahasan
Berbicara dan membahas mengenai politik bagi sebagian orang orang atau kalangan bukan hal yang asing terutama yang memang secara langsung mempelajari atau bahkan terjun langsung di dalamnya. Di dalam politik terdapat beberapa macam kegiatan sperti sosialisasi poltik, partisipasi politik, rekrutmen politik, komunikasi politik dan mobilisasi politik. Semua kegiatan tersebut dilaksanakan untuk mendukung berjalan baiknya kegiatan tersebut.
Namun dalam makalah ini kami akan membahas mengenai partisipasi politik. Dalam partisipasi politik ini harus adanya sebuah sosialisasi politik dengan baik. Jka hal ini tidak terlaksana dengan baik sudah bisa dipastikan proses partisipasi politik tidak akan berjalan baik.
Sudah menjadi hal yang lumrah (biasa) ketika masa Pemilihan Umum (Pemilu) baik daerah ataupun Negara banyak para calon pemimpin kita berlomba-lomba merebut hati rakyat. Banyak cara yang dilakukan para calon pemimpin untuk merebut hati rakyatnya. Seperti melakukan kampanye, terjun langsung kelapangan agar merasa dekat dan diakui kehadirannya sebagai calon pemimpin dan kegiatan-kegiatan lainnya. Namun hal ini tidak didukung dengan pengetahuan dan kesadaran warganya akan apa arti dari politik itu sendiri baik dalam keilmuan maupun dalam hal benefit pada pembangunan negara. Terlebih di Indonesia tidak sedikit warganya yang membenci politik karena memandang bahwa politik hanya di jadikan sarana merauk keuntungan bagi kalangan tertentu yang sama sekali tidak tersentuh oleh orang-orang kecil (warga biasa dengan tingkat ekonomi di baah rata-rata).
Maka tidak hayal banyak oknum-oknum tertentu memanfaatkan kurangnya pengetahuan akan politik dan pandangan-pandangan negatif terhadap politik dengan cara tidak sehat. Yang kemudian menjadi sebab partisipasi politik pun berjalan dengan tidak sehat.
Seakan sudah menjadi rahasia umum jika banyak para oknum agar mereka terpilih sebagai pejabat baik legislatif maupun eksekutif dengan menggunakan cara yang tidak baik seperti money politic dan lain-lain.Inilah yang mengakibatkan Perpolitikan Indonesia tidak stabil karena memang dihuni oleh orang-orang (oknum) yang memang tidak memahami dengan baik pa yang di maksud dengan arti politik secara hakiki.
Hal-hal tersebutlah yang menyebabkan partisipasi langsung dari orang-orang awam politik banyak diperjualbelikan (Money politic=Serangan fajar). selain masalah money Politic kurang berjalan dengan baiknya partisipasi politik secara merata juga disebabkan karena faktor geografis seperti orang-orang pedalaman yang memang sangat sulit untuk mendapatkan informasi tentang politik bahkan sampai tidak tersentuh/terdata oleh pihak penyelenggara pemilu (Komisi Pemilihan Umum – KPU). Ini lah yang akan dibahas oleh kami yaitu mengapa partisipasi politik tidak dapat berjalan dengan baik?


Contoh kasus
Sidang perdana kasus money politik pada Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) Kota Palopo bulan Maret yang lalu, dengan terdakwa Herman Selebes digelar di Pengadian Negeri (PN) kelas IB Palopo, Rabu (15/5/13). agenda sidnag yakni pemeriksaan saksi-saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Palopo, Ashari Syam.
Dua orang saksi yakni Debora dan Damari, warga Kelurahan Pattene, Kota Palopo membeberkan kasus money politik yang dilakukan terdakwa Herman Selebes. dihadapan majelis hakim yang diketuai Ahmad Ismail, Debora dan Damari menyebutkan jika dirinya diberikan uang oleh Herman Selebes senilai Rp 150 ribu dengan imbalan harus memilih kandidat Wali Kota nomor urut satu.
“Kami memang menerima uang dari Herman, nilainya Rp 150, tapi kami diminta agar mencoblos calon Wali Kota nomor urut 1,” kata Damari, yang dibenarkan oleh rekannya, Debora, saat ditanya majelis hakim.
Sementara itu, Herman Selebes, tidak membantah semua keterangan saksi. Herman juga membenarkan jika uang tersebut diberikan kepada beberapa orang warga di Jl Muhammad Kasim dengan maksud agar memilih wali Kota sesua arahannya.
“Memang benar semua keterangan yang disebutkan saksi,” kata Herman.
Namun, Herman tidak menyebutkan siapa oknum yang memerintahkan untuk membagikan uang tersebut. atas perbuatannya itu, Herman dijerat pasal 117 , Undang-Undang Otonomi Daerah dengan ancaman maksimal satu tahun penjara, denda Rp 10 juta.
sidang selanjutnya akan digelar tanggal 27 Mei dengan agenda masih pemeriksaan saksi. kali ini, JPU akan menghadirkan saksi dari Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Palopo.(*)

Berbagai bentuk partisipasi politik tersebut dapat dilihat dari berbagai kegiatan warga negara yang mencakup antara lain:
  1. Terbentuknya organisasi-organisasi politik maupun organisasi masyarakat sebagai bagian dari kegiatan sosial, sekaligus sebagai penyalur aspirasi rakyat yang ikut menentukan kebijakan negara.
  2. Lahirnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial maupun pemberi masukan terhadap kebijakan pemerintah.
  3. Lahirnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial maupun pemberi masukan terhadap kebijakan pemerintah.
  4. Munculnya kelompok-kelompok kontemporer yang memberi warna pada sistem input dan output kepada pemerintah, misalnya melalui unjuk rasa, petisi, protes, demonstrasi, dan sebagai

Kelemahan Sistem Pemilu yang Memberikan Peluang Money Politic
1.      Money politic (politik uang) merupakan uang maupun barang yang diberikan untuk menyoggok atau memengaruhi keputusan masyarakat agar memilih partai atau perorangan tersebut dalam pemilu, padahal praktek  money politic merupakan praktek yang sangat bertentangan dengan nilai demokrasi.Lemahnya Undang-Undang dalam memberikan sanksi tegas terhadap pelaku money politic membuat praktek money politic ini menjamur luas di masyarakat.
2.      Maraknya praktek money politic ini disebabkan pula karena lemahnya Undang-Undang dalam mengantisipasi terjadinya praktek tersebut. Padahal praktek money politic ini telah hadir dari zaman orde baru tetapi sampai saat ini masih banyak hambatan untuk menciptakan sistem pemilu yang benar-benar anti money politic.  Praktek money politic ini sungguh misterius karena sulitnya mencari data untuk membuktikan sumber praktek tersebut,  namun ironisnya praktek money politic ini sudah menjadi kebiasaan dan rahasia umum di masyarakat. Real-nya Sistem demokrasi pemilu di Indonesia masih harus banyak perbaikan, jauh berbeda dibandingkan sistem pemilu demokrasi di Amerika yang sudah matang.
3.      Hambatan terbesar dalam pelaksanaan pemilu demokrasi di Indonesia yaitu masih tertanamnya budaya paternalistik di kalangan elit politik. Elit-elit politik tersebut menggunakan kekuasaan dan uang untuk melakukan pembodohan dan kebohongan terhadap masyarakat dalam mencapai kemenangan politik. Dewasanya, saat ini banyak muncul kasus-kasus masalah Pilkada yang diputuskan melalui lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi (MK) karena pelanggaran nilai demokrasi dan tujuan Pilkada langsung. Hal itu membuktikan betapa terpuruknya sistem pemilu di Indonesia yang memerlukan penanganan yang lebih serius. Masyarakat yang kondisi ekonominya sulit dan pengetahuan politiknya masih awam akan mejadi sasaran empuk para pelaku praktek money politik.
4.      Pelaku praktek money politic ini tentu mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dalam menjalankan prakteknya tersebut, sehingga setelah dia menerima kekuasaan maka terjadi penyelewengan kekuasaan seperti eksploitasi Anggaran belanja, kapitalisasi kebijakan, dan eksploitasi sumber daya yang ada sebagai timbal-balik atas biaya besar pada saat pelaku money politik itu melakukan kampaye.Perlunya penafsiran ulang mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan masalah-masalah di pemilu yang terkadang menyalahi aturan UU yang berlaku. Calon-calon dalam pemilu pasti melakukan kampanye, kampaye ini memerlukan dana yang tidak sedikit. Banyak pihak-pihak yang membantu pendanaan dalam melakukan kampanye suatu partai atau perorangan, namun hal ini terkadang bisa di sebut suatu penyuapan politik.
5.         Pihak-pihak yang memberikan pendanaan biasanya mengharapkan imbalan setelah partai atau perorangan tersebut terpilih dan memegang kekuasaan. Misalnya, anggota legislative yang terpilih tersebut membuat peraturan Undang-Undang yang memihak pada pihak-pihak tertentu khususnya pihak yang mendanai partai atau perorangan dalam kampanye tersebut. Dalam pemilu banyak aksi money politic yang dapat memengaruhi hasil pemilu karena aturan yang tidak tegas bahkan petinggi negara seperti badan legislative, eksekutif, dan yudikatif beberapa diantaranya bisa di suap sehingga petinggi negara yang memiliki kekuasaan tersebut dengan mudah dapat menetapkan kebijakan-kebijakan atau melakukan kecurangan yang menguntungkan pihak yang memiliki banyak uang tesebut.
Solusi Mengatasi Money Politic
Kita sebagai masyarakat harus ikut berpartisipasi untuk mengkaji keputusan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan kasus-kasus pemillu agar tidak menyimpang dari peraturan hukum yang berlaku. Calon-calon pada pemilu juga harus komitmen untuk benar-benar tidak melakukan praktek money politik dan apabila terbukti melakukan maka seharusnya didiskualifikasi saja.
Bentuk Undang-Undang yang kuat untuk mengantisipasi terjadinya money politic dengan penanganan serius untuk memperbaiki bangsa ini, misalnya membentuk badan khusus independen untuk mengawasai calon-calon pemilu agar menaati peraturan terutama untuk tidak melakukan money politic. Sebaiknya secara transparan dikemukan kepada publik sumber pendanaan kampaye oleh pihak-pihak yang mendanai tersebut. Transparan pula mengungkapkan tujuan mengapa mendanai suatu partai atau perorangan, lalu sebaiknya dibatasi oleh hukum mengenai biaya kampanye agar tidak berlebihan mengeluarkan biaya sehingga terhindar dari tindak pencarian pendanaan yang melanggar Undang-Undang. Misalnya, anggota legislative yang terpilih tersebut membuat peraturan Undang-Undang yang memihak pada pihak-pihak tertentu khususnya pihak yang mendanai partai atau perorangan dalam kampanye tersebut.
Meningkatkan kesadaran masyarakat merupakan indikator penting untuk  memudarkan berkembangnya praktek money politic  karena sebagian besar masyarakat hanya memikirkan keuntungan sendiri tanpa menyadari efek yang timbul di masa depan. Praktek money politic dapat menghancurkan masa depan negara ini karena praktek money politic ini akan cukup menguras keuangan suatu partai atau perorangan yang mencalonkan diri pada pemilu sehingga setelah terpilih di pemilu akan memicu niat untuk tindak  korupsi. Para pelaku praktek money politic ini memanfaatkan situasi perekonomian rakyat yang semakin sulit sehingga masyarakat jangan mudah tergiur dengan keuntungan yang diterima sementara ini.
Calon pemimpin yang melakuan money politic tentu tidak berlaku jujur sehingga sebagai masyarakat yang cerdas jangan mau di pimpin oleh seseorang yang budi pekertinya tidak baik. Sadarilah apabila kita salam memilih pemimpin akan berakibat fatal karena dapat menyengsarakan rakyatnya. Sebaiknya pemerintah mengadakan sosialisasi pemilu yang bersih dan bebas money politc kepada masyarakat luas agar tingkat partisipasi masyarakat dalam demokrasi secara langsung meningkat. Perlu keseriusan dalam penyuluhan pendidikan politik kepada masyarakat dengan penanaman nilai yang aman, damai, jujur dan kondusif dalam memilih.
Hal tersebut dapat membantu menyadarkan masyarakat untuk memilih berdasarkan hati nurani tanpa tergiur dengan praktek money politic yang dapat menghancurkan demokrasi. Pemerintah juga harus lebih giat memberikan sosialisasi kepada kandidat yang akan di pilih oleh rakyat untuk mengutamakan moralitas politik sehingga dapat berlaku jujur dengan tidak melakukan praktek money politic.

Warga negara sudah seharusnya mendapatkan hak pilihnya dalam pemilu yang berjalan di Indonesia, dimana hak pilih warga secara jelas dalam peraturan komisi pemilihan umum nomor 11 tahun 2008 bab II tentang hak memilih warga negara telah di tertulis yaitu sebagai berikut :
HAK MEMILIH
Pasal 3
1. Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
2. Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih.
Pasal 4
1. Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.
2. Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berada di Luar Negeri hanya memilih calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan Pasal 157 ayat (1) Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Pasal 5
1. Seorang pemilih hanya didaftar 1 (satu) kali dalam daftar pemilih di PPLN/TPSLN.
2. Apabila seorang pemilih mempunyal Iebih dari 1 (satu) tempat tinggal, pemilih tersebut harus menentukan satu diantaranya yang alamatnya sesuai dengan alamat yang tertera dalam tanda identitas kependudukan (KIP) atau Paspor untuk ditetapkan sebagai tempat tinggal yang dicantumkan dalam daftar pemilih.
Ini sudah sangat jelas bahwa hak pilih warga sudah seharusnya di junjung tinggi dalam pelaksanaan pemilu, tidak seharusnya warga atau rakyat kehilangan hak pilihnya. Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD 1945-Amandemen) maupun UU, yakni UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.







PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. Faktor Pendorong munculnya suap pilkada
Ruang sempit yang disediakan untuk calon independen hanya sekadar basa-basi guna menimbulkan kesan demokratis. Dikatakan demikian, kewajiban untuk memberikan kesempatan kepada calon perorangan tidak diikuti dengan sanksi yang tegas jika partai politik tidak melaksanakannya. Apalagi ada aturan bahwa proses seleksi calon perorangan harus sesuai dengan mekanisme internal partai politik. Pertanyaannya, sudah seberapa banyakkah partai politik membuat aturan internal yang memungkinkan calon perorangan bersaing secara fair? Persoalan ini merupakan pintu awal masukkan suap pada proses pilkada langsung.
Tidak hanya dalam masalah sanksi, ketentuan yang ada tidak melarang kemungkinan terjadinya praktik suap dalam seleksi calon kepala daerah. Artinya, dengan adanya keharusan partai politik menjadi satu-satunya pintu yang dapat digunakan untuk menjadi calon kepala daerah, yang terancam bukan hanya pemilihan umum yang demokratis tetapi terbukanya kemungkinan terjadinya praktik suap besar-besaran dalam proses pengajuan pasangan calon. Bisa jadi, semakin besar persentase jumlah kursi partai politik, bandrol yang ditawarkan juga akan semakin tinggi. Ibarat sebuah tender terbuka, kata Teten Masduki, pembelian suara biasanya akan dimenangkan oleh the highest bidder (Kompas, 11/2).
Celakanya lagi, Definisi suap dalam Undang-Undang No 32/2004 dan PP No 6/2005 tidak terlalu jelas cakupannya. Definisi suap dalam UU No 32/2004 itu secara implisit tercantum dalam Pasal 82 Ayat (1) yang menyebutkan, Pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Kemudian Ayat (2), Pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD. Dengan definisi seperti itu sulit diaplikasikan di lapangan. Dalam kenyataannya suap terjadi sejak pasangan calon mendaftarkan diri pada partai politik hingga ke masa kampanye.
Pencalonan kepala daerah yang harus melalui pintu partai politik yang memenuhi persyaratan tertentu diprediksi bakal menjadi pintu masuk terjadinya konflik. Karena calon nonpartai yang dikenal mempunyai pendukung kuat pun harus melalui pintu parpol, bisa timbul masalah jika keinginan tersebut ternyata tidak diakomodasi oleh parpol yang ada. Elite parpol yang berpikir pragmatis tentunya tidak akan dengan gampang memberi jalan kepada calon yang bukan kader partainya. Selain itu, polarisasi politik juga menjadi faktor pemicu konflik. Jika keragaman parpol, kelompok etnis, atau agama tidak menjadi pertimbangan parpol atau gabungan parpol dalam mengajukan pasangan calonnya, bisa muncul kekerasan dari kelompok yang merasa terancam eksistensinya akibat datangnya rezim monolitik itu.
Konflik dalam pengertian longgar, yakni perbedaan sosio-kultural, politik, dan ideologis di antara berbagai kelompok masyarakat, pada dasarnya tak bisa dipisahkan dari hakikat keberadaan manusia dalam kehidupan kolektif. Apalagi bangsa kita dianugerahi keanekaragaman sosio-kultural yang bahkan sering saling tumpang tindih. Karena itu wajar jika bangsa yang heterogen ini menyimpan potensi konflik tinggi. Masalahnya bukan saling menyalahkan karena perbedaan asal-usul, tetapi bagaimana mengelola perbedaan secara arif sehingga bisa menjadi modal sosio-kultural yang memperkokoh ikatan kebangsaan, tata-pemerintahan, dan sistem demokratis.
Dalam konteks memenuhi right to be candidate, apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan pemilihan kepala daerah yang demokratis? Dengan rentang waktu yang tersisa, partai politik seharusnya melakukan terobosan guna membuka kesempatan bagi orang-orang terbaik (baik kader partai maupun calon perseorangan) bersaing dalam seleksi internal partai politik. Kemudian, juga harus ada sikap bersama partai politik untuk mengharamkan praktik suap dalam mencari calon kepala daerah.


tujuh hal berikut perlu diadopsi oleh KPUD.
Pertama, belum semua penerimaan dan pengeluaran tercatat dalam rekening khusus di bank yang sudah dilaporkan kepada KPU. Yang terjadi adalah sumbangan disampaikan kepada bendahara untuk kemudian digunakan atau langsung digunakan secara operasional tanpa melalui pencatatan bendahara. Akibatnya Rekening Khusus Dana Kampanye Pemilu di bank saja belum mampu menggambarkan seluruh transaksi dan kegiatan kampanye peserta pemilu. Berdasarkan pengalaman ini, KPUD perlu menegaskan dalam peraturan bahwa semua penerimaan dan pengeluaran harus tercatat dalam rekening khusus.
Kedua, pasangan calon dan/atau tim kampanye pasangan calon ternyata sudah menerima sumbangan dari berbagai pihak dan/atau mengeluarkan uang untuk keperluan pencalonan jauh sebelum pasangan calon didaftarkan kepada KPU sebagaimana diidentifikasi di atas. Ketika KPU meminta pasangan calon melaporkan saldo awal dalam Rekening Khusus Dana Kampanye ternyata yang dilaporkan hanya dana minimal untuk membuka rekening. Dana yang sudah diterima dan digunakan sebelum pembukaan rekening khusus tidak dimasukkan ke dalam rekening khusus. Berdasarkan pengalaman ini, KPUD perlu membuat pengaturan yang tak hanya mewajibkan pasangan calon/tim kampanye mencatat transaksi tersebut dalam rekening khusus, yaitu dengan mencatatnya sebagai saldo awal, tetapi juga melaporkan seluruh transaksi sebelum pendaftaran pasangan calon dalam laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye pilkada.
Ketiga, pasangan calon/tim kampanye pasangan calon belum disiplin mencatat dan melaporkan sumbangan pihak ketiga, yaitu mereka yang melaksanakan sejumlah kegiatan kampanye (mengeluarkan dana) bagi pasangan calon tersebut dengan uang sendiri dan/ atau menggunakan sumbangan pihak lain. Sumbangan yang diterima dalam bentuk nonkas (in kind) juga belum dicatat dan dilaporkan oleh tim kampanye. KPUD perlu menegaskan ketentuan ini ketika melakukan sosialisasi kepada tim kampanye pasangan calon pemilihan kepala daerah.
Keempat, menurut ketentuan laporan penerimaan dan pengeluaran pasangan calon merupakan laporan konsolidasi. Dari laporan kantor akuntan publik (KAP), terlihat belum semua penerimaan kas dan nonkas tim kampanye daerah dicatat dan dilaporkan. KPUD perlu mempertimbangkan pembuatan peraturan yang juga mewajibkan tim kampanye daerah (tingkat kabupaten dan tingkat kecamatan untuk pemilihan gubernur serta tingkat kecamatan untuk pemilihan bupati/wali kota) mencatat dan melaporkan semua penerimaan dan pengeluaran, baik kas maupun nonkas, sehingga termasuk yang akan diaudit oleh KAP.
Kelima, tidak semua sumbangan dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori sumber sumbangan menurut undang- undang, yaitu partai politik/gabungan partai politik yang mencalonkan, pasangan calon, dan perseorangan dan badan hukum swasta. Bila sekelompok orang melakukan kegiatan usaha mencari dana dengan menjual barang tertentu dan hasilnya disumbangkan kepada pasangan calon tertentu, sedangkan sekelompok orang tersebut tidak mempunyai hubungan atau perjanjian apa pun dengan pasangan calon, ke dalam kategori apakah sumbangan ini dimasukkan. Sumbangan ini jelas tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori sumbangan perseorangan karena melibatkan sekelompok orang. Sumbangan ini juga tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori sumbangan badan hukum swasta karena sekelompok orang tersebut tidak membentuk badan usaha. Apabila pasangan calon/ tim kampanye dapat melakukan kegiatan usaha mencari dana, KPUD perlu mempertimbangkan hal berikut. Bila jenis usaha tersebut berupa penjualan barang, sebaiknya sumbangan ini dikelompokkan sebagai sumbangan dunia usaha walaupun tanpa status badan hukum. Bila jenis usaha tersebut berupa penggalangan sumbangan dari sejumlah orang, sumbangan ini harus dikategorikan sebagai sumbangan perseorangan.
Keenam, karena waktu yang tersedia untuk proses pelaksanaan audit hanya 15 hari, maka pengecekan yang dilakukan KAP terhadap semua bentuk sumbangan, terutama penyumbang individual dan badan hukum swasta hanya secara acak dengan kuesioner sehingga kurang menyeluruh dan mendalam. Oleh karena itu, apabila memungkinkan, KPUD perlu mempertimbangkan waktu yang lebih memadai bagi KAP untuk melakukan audit. Keterbatasan waktu yang tersedia dapat pula diatasi dengan meminta lembaga pemantau, yang khusus memantau dana kampanye pilkada, dan panwas, menyerahkan hasil pemantauan dana kampanye pilkada untuk digunakan sebagai bahan audit oleh KAP.
Ketujuh, KAP perlu diberi kewenangan melakukan audit investigation bila terjadi kesenjangan pengeluaran dan penerimaan dari laporan pasangan calon.
Dari segi penegakan hukum, berdasarkan hasil audit KAP terhadap laporan pasangan calon, KPUD berwenang mengenakan sanksi pembatalan calon apabila pasangan calon/tim kampanye terbukti: (a) menerima sumbangan/ bantuan lain dari pihak negara, swasta, LSM, dan warga asing, (b) menerima sumbangan/bantuan lain dari pihak yang tidak jelas identitasnya, dan (c) menerima sumbangan/bantuan lain dari pemerintah, BUMN, dan BUMD. Selain itu, apabila pengadilan menyatakan pasangan calon/ tim kampanye terbukti memberikan atau menjanjikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih, KPUD juga harus mendiskualifikasi pasangan calon tersebut. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, kewenangan membatalkan calon seperti ini yang semula berada pada DPRD kini dialihkan kepada KPUD karena KPUD-lah yang menetapkan calon.
Akan tetapi, UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 6 Tahun 2005 ternyata tidak memberikan sanksi bagi penyumbang atau penerima sumbangan dana kampanye yang melebihi jumlah maksimal yang ditetapkan dalam UU No 32 Tahun 2004. Bila kekosongan hukum ini tidak segera diatasi, misalnya, mengaturnya dalam peraturan pemerintah pengganti undang- undang (perpu) yang kini tengah disiapkan oleh pemerintah, tidak saja tidak ada gunanya menetapkan batas maksimal sumbangan dalam UU, tetapi juga akan memperlakukan pasangan calon lain dan para pemilih secara tidak adil.
Banyaknya aturan yang belum lengkap mengenai dana kampanye mengakibatkan sulitnya sumber dana kampanye dilacak KPUD. Apalagi, di dalam Peraturan Pemerintah No 6/2005 tidak memberikan sanksi kepada calon kepala daerah yang tidak memberikan laporan sumber dana kampanye kepada KPUD. Pasal 65 Ayat 6 PP No 6/2005 menyebutkan, sumbangan dana kampanye dilaporkan dan disampaikan pasangan calon kepada KPUD setelah diaudit kantor akuntan publik dalam waktu satu hari sebelum masa kampanye dimulai dan satu hari sesudah masa kampanye berakhir.
PENUTUP
A. Kesimpulan
  1. Sistem Peradilan Pidana Indonesia dalam penangan perkara suap amat menitikberatkan kepada permasalahan pembuktian. Kekuatan pembuktian dalam kasus suap pilkada yang melekat pada setiap alat bukti perlu ditelusuri terlebih dahulu apakah tindak pidana itu benar-benar terjadi atau tidak karena bisa saja fakta-fakta yang dihadapkan kepada pihak penyidik dan hakim di persidangan oleh salah satu pihak dibantah oleh pihak lain. Mekanisme penanganan perkara suap pada sistem peradilan pidana tetap mengacu kepada aturan hukum acara pidana (KUHAP) dan menggunakan sanksi hukum yang terdapat dalam UU 32/2004 sebagai acuan sanksi pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Disamping itu, diperlukan keberanian para penegak hukum untuk melakukan terobosan dalam melakukan penyidikan dan pembuktian suap pilkada.
  2. Suap pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung relatif sulit untuk dibuktikan sehingga kasusnya sulit berlanjut lebih disebabkan karena masalah bukti dan pembuktian. Selain alat bukti yang sulit didapat, saksi pun tidak dijamin keberadaannya, sehingga proses peradilan suap pun sulit untuk dilaksanakan. Disamping itu, UU 32/2004 sebagai perangkat hukum yang mengatur masalah pilkada menciptakan aturan yang membuka peluang suap, baik di tingkat partai politik ataupun pada setiap tahapan Pilkada. Disamping itu, lemahnya pengaturan (tidak terperinci) masalah suap di dalam UU 32/2004 menjadikan pelaku suap dapat dengan leluasa melakukan kejahatan pidana pemilu ini.
B. Saran-saran
1.      Bagi daerah yang sedang (dan akan) melakukan Pilkada, amat tepat bila KPUD menciptakan aturan hukum berupa Keputusan KPUD yang dapat mengurangi suap, seperti transparansi pencalonan dan penjaringan di tingkat partai politik dan pengaturan yang lebih jelas masalah dana kampanye.
2.      Upaya mengatasi suap pada pilkada tidak saja menjadi peran dari para aparat penegak hukum untuk mengatasi problematika ini. Dibutuhkan peran semua pihak, khususnya dalam pihak-pihak yang berwenang dalam merumuskan sistem dan aturan hukum Pilkada yang dapat meminimalisir terjadinya suap.
Daftar pustaka
http://fhuk.unand.ac.id/in/kerjasama-hukum/menuartikeldosen-category/941-penanganan-perkara-politik-uang-money-politik-pada-pemilihan-kepala-daerah-secara-langsung-article.html
http://irf4nh4kim.wordpress.com/2012/12/22/partisipasi-politik-dan-contoh-kasus/
http://mershaly.wordpress.com/2010/01/05/makalah-pemilu/