BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih
anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD, dan DPD. Setelah amandemen ke-IV
UUD 1945 pada 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), yang
semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat
sehingga pilpres pun dimasukan ke dalam rezim pemilihan umum. Pilpres sebagai
bagian dari pemilihan umum diadakan pertama kali pada pemilu 2004. pada 2007,
berdasarkan UU No.22 Tahun 2007, pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah (Pilkada) juga dimasukan sebagai bagian dari rezim pemilihan umum.
Ditengah masyarakat, istilah “pemilu” lebih sering merujuk kepada pemilu
legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan lima tahun
sekali.
Pemilihan umum telah dianggap menjadi ukuran demokrasi karena rakyat dapat
berpartisipasi menentukan sikapnya terhadap pemerintahan dan negaranya.
Pemilihan umum adalah suatu hal yang penting dalam kehidupan kenegaraan. Pemilu
adalah pengejewantahan sistem demokrasi, melalui pemilihan umum rakyat memilih
wakilnya untuk duduk dalam parlemen, dan dalam struktur pemerintahan. Ada
negara yang menyelenggarakan pemilihan umum hanya apabila memilih wakil rakyat
duduk dalam parlemen, akan tetapi adapula negara yang juga menyelenggarakan
pemilihan umum untuk memilih para pejabat tinggi negara.
Umumnya yang berperan dalam pemilu dan menjadi peserta pemilu adalah
partai-partai politik. Partai politik yang menyalurkan aspirasi rakyat dan
mengajukan calon-calon untuk dipilih oleh rakyat melalui pemilihan itu. Dalam
ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umumnya
berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu: singel member constituency (satu daerah
pemilihan memilih satu wakil, biasanya disebut sistem distrik). Multy member
constituenty (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan
proporsional representation atau sistem perwakilan berimbang).
B. Rumusan Masalah
Salah satu aspek yang menentukan keberhasilan pemilikhan umum yang bisa
memberikan kontribusi bagi sistem politik yang demokratis, dan efektif yang
sedang giat-giatnya dilaksanakan adalah sistem proses pemilihan umum yang
luber, yang matang mengenai sistem pemilu proporsional dan pemehaman yang luas
dari pemerintah. Berdasarkan pernyataan ini maka rumusan masalah yang
dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah sistem pemilu 2009?
2. Faktor-faktor apa yang menmjadi kelebihan dan kekurangan pada pemilu ?
A. Pembahasan
Berbicara dan membahas mengenai
politik bagi sebagian
orang orang atau kalangan bukan hal yang asing terutama yang memang secara
langsung mempelajari atau bahkan terjun langsung di dalamnya. Di dalam politik
terdapat beberapa macam kegiatan sperti sosialisasi poltik, partisipasi
politik, rekrutmen politik, komunikasi politik dan mobilisasi politik. Semua
kegiatan tersebut dilaksanakan untuk mendukung berjalan baiknya kegiatan
tersebut.
Namun dalam makalah ini kami akan membahas mengenai partisipasi politik.
Dalam partisipasi politik ini harus adanya sebuah sosialisasi politik dengan
baik. Jka hal ini tidak terlaksana dengan baik sudah bisa dipastikan proses
partisipasi politik tidak akan berjalan baik.
Sudah menjadi hal yang lumrah (biasa) ketika masa Pemilihan Umum (Pemilu)
baik daerah ataupun Negara banyak para calon pemimpin kita berlomba-lomba
merebut hati rakyat. Banyak cara yang dilakukan para calon pemimpin untuk
merebut hati rakyatnya. Seperti melakukan kampanye, terjun langsung kelapangan
agar merasa dekat dan diakui kehadirannya sebagai calon pemimpin dan
kegiatan-kegiatan lainnya. Namun hal ini tidak didukung dengan pengetahuan dan
kesadaran warganya akan apa arti dari politik itu sendiri baik dalam keilmuan
maupun dalam hal benefit pada pembangunan negara. Terlebih di Indonesia tidak
sedikit warganya yang membenci politik karena memandang bahwa politik hanya di
jadikan sarana merauk keuntungan bagi kalangan tertentu yang sama sekali tidak
tersentuh oleh orang-orang kecil (warga biasa dengan tingkat ekonomi di baah
rata-rata).
Maka tidak hayal banyak oknum-oknum tertentu memanfaatkan kurangnya
pengetahuan akan politik dan pandangan-pandangan negatif terhadap politik
dengan cara tidak sehat. Yang kemudian menjadi sebab partisipasi politik pun
berjalan dengan tidak sehat.
Seakan sudah menjadi rahasia umum jika banyak para oknum agar mereka
terpilih sebagai pejabat baik legislatif maupun eksekutif dengan menggunakan
cara yang tidak baik seperti
money politic
dan lain-lain.Inilah yang mengakibatkan Perpolitikan Indonesia tidak stabil
karena memang dihuni oleh orang-orang (oknum) yang memang tidak memahami dengan
baik pa yang di maksud dengan arti politik secara hakiki.
Hal-hal tersebutlah yang menyebabkan partisipasi langsung dari orang-orang
awam politik banyak diperjualbelikan (
Money politic=Serangan fajar).
selain masalah
money Politic kurang berjalan dengan baiknya partisipasi
politik secara merata juga disebabkan karena faktor geografis seperti
orang-orang pedalaman yang memang sangat sulit untuk mendapatkan informasi
tentang politik bahkan sampai tidak tersentuh/terdata oleh pihak penyelenggara
pemilu (Komisi Pemilihan Umum – KPU). Ini lah yang akan dibahas oleh kami yaitu
mengapa partisipasi politik tidak dapat berjalan dengan baik?
Contoh kasus
Sidang perdana kasus money
politik pada Pemilihan
Kepala Daerah (Pemilukada) Kota Palopo bulan Maret yang lalu, dengan terdakwa
Herman Selebes digelar di Pengadian Negeri (PN) kelas IB Palopo, Rabu
(15/5/13). agenda sidnag yakni pemeriksaan saksi-saksi yang dihadirkan Jaksa
Penuntut Umum (JPU) Kejari Palopo, Ashari Syam.
Dua orang saksi yakni Debora dan Damari, warga Kelurahan Pattene, Kota
Palopo membeberkan kasus money politik yang dilakukan terdakwa
Herman Selebes. dihadapan majelis hakim yang diketuai Ahmad
Ismail, Debora dan Damari menyebutkan jika dirinya diberikan uang oleh Herman
Selebes senilai Rp 150 ribu dengan imbalan harus memilih kandidat Wali Kota
nomor urut satu.
“Kami memang menerima uang dari Herman, nilainya Rp 150, tapi kami diminta
agar mencoblos calon Wali Kota nomor urut 1,” kata Damari, yang dibenarkan oleh
rekannya, Debora, saat ditanya majelis hakim.
Sementara itu, Herman Selebes, tidak membantah semua keterangan saksi.
Herman juga membenarkan jika uang tersebut diberikan kepada beberapa orang
warga di Jl Muhammad Kasim dengan maksud agar memilih wali Kota sesua
arahannya.
“Memang benar semua keterangan yang disebutkan saksi,” kata Herman.
Namun, Herman tidak menyebutkan siapa oknum yang memerintahkan untuk membagikan
uang tersebut. atas perbuatannya itu, Herman dijerat pasal 117 , Undang-Undang
Otonomi Daerah dengan ancaman maksimal satu tahun penjara, denda Rp 10 juta.
sidang selanjutnya akan digelar tanggal 27 Mei dengan agenda masih
pemeriksaan saksi. kali ini, JPU akan menghadirkan saksi dari Panitia Pengawas
Pemilu (Panwaslu) Kota Palopo.(*)
Berbagai bentuk partisipasi politik tersebut dapat dilihat
dari berbagai kegiatan warga negara yang mencakup antara lain:
- Terbentuknya organisasi-organisasi politik maupun
organisasi masyarakat sebagai bagian dari kegiatan sosial, sekaligus
sebagai penyalur aspirasi rakyat yang ikut menentukan kebijakan negara.
- Lahirnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai
kontrol sosial maupun pemberi masukan terhadap kebijakan pemerintah.
- Lahirnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai
kontrol sosial maupun pemberi masukan terhadap kebijakan pemerintah.
- Munculnya kelompok-kelompok kontemporer yang memberi
warna pada sistem input dan output kepada pemerintah, misalnya melalui unjuk
rasa, petisi, protes, demonstrasi, dan sebagai
Kelemahan Sistem Pemilu yang Memberikan Peluang Money
Politic
1.
Money politic (politik uang) merupakan uang
maupun barang yang diberikan untuk menyoggok atau memengaruhi keputusan
masyarakat agar memilih partai atau perorangan tersebut dalam pemilu, padahal
praktek money politic merupakan praktek yang sangat bertentangan
dengan nilai demokrasi.Lemahnya Undang-Undang dalam memberikan sanksi tegas
terhadap pelaku money politic membuat praktek money politic ini
menjamur luas di masyarakat.
2.
Maraknya praktek money politic ini disebabkan
pula karena lemahnya Undang-Undang dalam mengantisipasi terjadinya praktek
tersebut. Padahal praktek money politic ini telah hadir dari zaman orde
baru tetapi sampai saat ini masih banyak hambatan untuk menciptakan sistem
pemilu yang benar-benar anti money politic. Praktek money
politic ini sungguh misterius karena sulitnya mencari data untuk
membuktikan sumber praktek tersebut, namun ironisnya praktek money
politic ini sudah menjadi kebiasaan dan rahasia umum di masyarakat. Real-nya
Sistem demokrasi pemilu di Indonesia masih harus banyak perbaikan, jauh berbeda
dibandingkan sistem pemilu demokrasi di Amerika yang sudah matang.
3.
Hambatan terbesar dalam pelaksanaan pemilu demokrasi di
Indonesia yaitu masih tertanamnya budaya paternalistik di kalangan elit
politik. Elit-elit politik tersebut menggunakan kekuasaan dan uang untuk
melakukan pembodohan dan kebohongan terhadap masyarakat dalam mencapai
kemenangan politik. Dewasanya, saat ini banyak muncul kasus-kasus masalah
Pilkada yang diputuskan melalui lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi (MK)
karena pelanggaran nilai demokrasi dan tujuan Pilkada langsung. Hal itu
membuktikan betapa terpuruknya sistem pemilu di Indonesia yang memerlukan
penanganan yang lebih serius. Masyarakat yang kondisi ekonominya sulit dan
pengetahuan politiknya masih awam akan mejadi sasaran empuk para pelaku praktek
money politik.
4.
Pelaku praktek money politic ini tentu
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dalam menjalankan prakteknya tersebut,
sehingga setelah dia menerima kekuasaan maka terjadi penyelewengan kekuasaan
seperti eksploitasi Anggaran belanja, kapitalisasi kebijakan, dan eksploitasi
sumber daya yang ada sebagai timbal-balik atas biaya besar pada saat pelaku money
politik itu melakukan kampaye.Perlunya penafsiran ulang mengenai keputusan
Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan masalah-masalah di pemilu yang
terkadang menyalahi aturan UU yang berlaku. Calon-calon dalam pemilu pasti
melakukan kampanye, kampaye ini memerlukan dana yang tidak sedikit. Banyak
pihak-pihak yang membantu pendanaan dalam melakukan kampanye suatu partai atau
perorangan, namun hal ini terkadang bisa di sebut suatu penyuapan politik.
5.
Pihak-pihak yang memberikan pendanaan biasanya
mengharapkan imbalan setelah partai atau perorangan tersebut terpilih dan
memegang kekuasaan. Misalnya, anggota legislative yang terpilih tersebut
membuat peraturan Undang-Undang yang memihak pada pihak-pihak tertentu
khususnya pihak yang mendanai partai atau perorangan dalam kampanye tersebut.
Dalam pemilu banyak aksi money politic yang dapat memengaruhi hasil
pemilu karena aturan yang tidak tegas bahkan petinggi negara seperti badan
legislative, eksekutif, dan yudikatif beberapa diantaranya bisa di suap sehingga
petinggi negara yang memiliki kekuasaan tersebut dengan mudah dapat menetapkan
kebijakan-kebijakan atau melakukan kecurangan yang menguntungkan pihak yang
memiliki banyak uang tesebut.
Solusi Mengatasi Money Politic
Kita sebagai masyarakat harus ikut berpartisipasi untuk mengkaji keputusan
Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan kasus-kasus pemillu agar tidak
menyimpang dari peraturan hukum yang berlaku. Calon-calon pada pemilu juga
harus komitmen untuk benar-benar tidak melakukan praktek money politik dan
apabila terbukti melakukan maka seharusnya didiskualifikasi saja.
Bentuk Undang-Undang yang kuat untuk mengantisipasi terjadinya
money
politic dengan penanganan serius untuk memperbaiki bangsa ini, misalnya
membentuk badan khusus independen untuk mengawasai calon-calon pemilu agar
menaati peraturan terutama untuk tidak melakukan
money politic.
Sebaiknya secara transparan dikemukan kepada publik sumber pendanaan kampaye
oleh pihak-pihak yang mendanai tersebut. Transparan pula mengungkapkan tujuan mengapa
mendanai suatu partai atau perorangan, lalu sebaiknya dibatasi oleh hukum
mengenai biaya kampanye agar tidak berlebihan mengeluarkan biaya sehingga
terhindar dari tindak pencarian pendanaan yang melanggar Undang-Undang.
Misalnya, anggota legislative yang terpilih tersebut membuat peraturan
Undang-Undang yang memihak pada pihak-pihak tertentu khususnya pihak yang
mendanai partai atau perorangan dalam kampanye tersebut.
Meningkatkan kesadaran masyarakat merupakan indikator penting untuk
memudarkan berkembangnya praktek
money politic karena sebagian
besar masyarakat hanya memikirkan keuntungan sendiri tanpa menyadari efek yang
timbul di masa depan. Praktek
money politic dapat menghancurkan masa
depan negara ini karena praktek money politic ini akan cukup menguras keuangan
suatu partai atau perorangan yang mencalonkan diri pada pemilu sehingga setelah
terpilih di pemilu akan memicu niat untuk tindak korupsi. Para pelaku
praktek
money politic ini memanfaatkan situasi perekonomian rakyat yang
semakin sulit sehingga masyarakat jangan mudah tergiur dengan keuntungan yang
diterima sementara ini.
Calon pemimpin yang melakuan
money politic tentu tidak berlaku jujur
sehingga sebagai masyarakat yang cerdas jangan mau di pimpin oleh seseorang
yang budi pekertinya tidak baik. Sadarilah apabila kita salam memilih pemimpin
akan berakibat fatal karena dapat menyengsarakan rakyatnya. Sebaiknya pemerintah
mengadakan sosialisasi pemilu yang bersih dan bebas
money politc kepada
masyarakat luas agar tingkat partisipasi masyarakat dalam demokrasi secara
langsung meningkat. Perlu keseriusan dalam penyuluhan pendidikan politik kepada
masyarakat dengan penanaman nilai yang aman, damai, jujur dan kondusif dalam
memilih.
Hal tersebut dapat membantu menyadarkan masyarakat untuk memilih berdasarkan
hati nurani tanpa tergiur dengan praktek
money politic yang dapat
menghancurkan demokrasi. Pemerintah juga harus lebih giat memberikan
sosialisasi kepada kandidat yang akan di pilih oleh rakyat untuk mengutamakan
moralitas politik sehingga dapat berlaku jujur dengan tidak melakukan praktek
money
politic.
Warga negara sudah seharusnya mendapatkan hak pilihnya dalam pemilu yang
berjalan di Indonesia, dimana hak pilih warga secara jelas dalam peraturan
komisi pemilihan umum nomor 11 tahun 2008 bab II tentang hak memilih warga
negara telah di tertulis yaitu sebagai berikut :
HAK MEMILIH
Pasal 3
1. Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur
17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak
memilih.
2. Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh
penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih.
Pasal 4
1. Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar
sebagai pemilih.
2. Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berada di Luar Negeri hanya
memilih calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan Pasal 157 ayat (1) Undang
Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Pasal 5
1. Seorang pemilih hanya didaftar 1 (satu) kali dalam daftar pemilih di
PPLN/TPSLN.
2. Apabila seorang pemilih mempunyal Iebih dari 1 (satu) tempat tinggal,
pemilih tersebut harus menentukan satu diantaranya yang alamatnya sesuai dengan
alamat yang tertera dalam tanda identitas kependudukan (KIP) atau Paspor untuk
ditetapkan sebagai tempat tinggal yang dicantumkan dalam daftar pemilih.
Ini sudah sangat jelas bahwa hak pilih warga sudah seharusnya di junjung tinggi
dalam pelaksanaan pemilu, tidak seharusnya warga atau rakyat kehilangan hak
pilihnya. Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar
(basic right) setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh
Negara. Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD
1945-Amandemen) maupun UU, yakni UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. Faktor Pendorong munculnya suap pilkada
Ruang sempit yang disediakan untuk calon independen hanya sekadar basa-basi
guna menimbulkan kesan demokratis. Dikatakan demikian, kewajiban untuk
memberikan kesempatan kepada calon perorangan tidak diikuti dengan sanksi yang
tegas jika partai politik tidak melaksanakannya. Apalagi ada aturan bahwa
proses seleksi calon perorangan harus sesuai dengan mekanisme internal partai
politik. Pertanyaannya, sudah seberapa banyakkah partai politik membuat aturan
internal yang memungkinkan calon perorangan bersaing secara fair? Persoalan ini
merupakan pintu awal masukkan suap pada proses pilkada langsung.
Tidak hanya dalam masalah sanksi, ketentuan yang ada tidak melarang
kemungkinan terjadinya praktik suap dalam seleksi calon kepala daerah. Artinya,
dengan adanya keharusan partai politik menjadi satu-satunya pintu yang dapat
digunakan untuk menjadi calon kepala daerah, yang terancam bukan hanya
pemilihan umum yang demokratis tetapi terbukanya kemungkinan terjadinya praktik
suap besar-besaran dalam proses pengajuan pasangan calon. Bisa jadi, semakin
besar persentase jumlah kursi partai politik, bandrol yang ditawarkan juga akan
semakin tinggi. Ibarat sebuah tender terbuka, kata Teten Masduki, pembelian
suara biasanya akan dimenangkan oleh the highest bidder (Kompas, 11/2).
Celakanya lagi, Definisi suap dalam Undang-Undang No 32/2004 dan PP No
6/2005 tidak terlalu jelas cakupannya. Definisi suap dalam UU No 32/2004 itu
secara implisit tercantum dalam Pasal 82 Ayat (1) yang menyebutkan, Pasangan
calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau
materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Kemudian Ayat (2), Pasangan calon
dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan
sebagai pasangan calon oleh DPRD. Dengan definisi seperti itu sulit
diaplikasikan di lapangan. Dalam kenyataannya suap terjadi sejak pasangan calon
mendaftarkan diri pada partai politik hingga ke masa kampanye.
Pencalonan kepala daerah yang harus melalui pintu partai politik yang
memenuhi persyaratan tertentu diprediksi bakal menjadi pintu masuk terjadinya
konflik. Karena calon nonpartai yang dikenal mempunyai pendukung kuat pun harus
melalui pintu parpol, bisa timbul masalah jika keinginan tersebut ternyata
tidak diakomodasi oleh parpol yang ada. Elite parpol yang berpikir pragmatis
tentunya tidak akan dengan gampang memberi jalan kepada calon yang bukan kader
partainya. Selain itu, polarisasi politik juga menjadi faktor pemicu konflik.
Jika keragaman parpol, kelompok etnis, atau agama tidak menjadi pertimbangan
parpol atau gabungan parpol dalam mengajukan pasangan calonnya, bisa muncul
kekerasan dari kelompok yang merasa terancam eksistensinya akibat datangnya
rezim monolitik itu.
Konflik dalam pengertian longgar, yakni perbedaan sosio-kultural, politik,
dan ideologis di antara berbagai kelompok masyarakat, pada dasarnya tak bisa
dipisahkan dari hakikat keberadaan manusia dalam kehidupan kolektif. Apalagi
bangsa kita dianugerahi keanekaragaman sosio-kultural yang bahkan sering saling
tumpang tindih. Karena itu wajar jika bangsa yang heterogen ini menyimpan
potensi konflik tinggi. Masalahnya bukan saling menyalahkan karena perbedaan
asal-usul, tetapi bagaimana mengelola perbedaan secara arif sehingga bisa
menjadi modal sosio-kultural yang memperkokoh ikatan kebangsaan,
tata-pemerintahan, dan sistem demokratis.
Dalam konteks memenuhi
right to be candidate, apa yang harus
dilakukan untuk mewujudkan pemilihan kepala daerah yang demokratis? Dengan
rentang waktu yang tersisa, partai politik seharusnya melakukan terobosan guna
membuka kesempatan bagi orang-orang terbaik (baik kader partai maupun calon
perseorangan) bersaing dalam seleksi internal partai politik. Kemudian, juga
harus ada sikap bersama partai politik untuk mengharamkan praktik suap dalam
mencari calon kepala daerah.
tujuh hal berikut perlu diadopsi oleh
KPUD.
Pertama, belum semua penerimaan dan pengeluaran tercatat dalam rekening
khusus di bank yang sudah dilaporkan kepada KPU. Yang terjadi adalah sumbangan
disampaikan kepada bendahara untuk kemudian digunakan atau langsung digunakan
secara operasional tanpa melalui pencatatan bendahara. Akibatnya Rekening Khusus
Dana Kampanye Pemilu di bank saja belum mampu menggambarkan seluruh transaksi
dan kegiatan kampanye peserta pemilu. Berdasarkan pengalaman ini, KPUD perlu
menegaskan dalam peraturan bahwa semua penerimaan dan pengeluaran harus
tercatat dalam rekening khusus.
Kedua, pasangan calon dan/atau tim kampanye pasangan calon ternyata sudah
menerima sumbangan dari berbagai pihak dan/atau mengeluarkan uang untuk
keperluan pencalonan jauh sebelum pasangan calon didaftarkan kepada KPU
sebagaimana diidentifikasi di atas. Ketika KPU meminta pasangan calon
melaporkan saldo awal dalam Rekening Khusus Dana Kampanye ternyata yang
dilaporkan hanya dana minimal untuk membuka rekening. Dana yang sudah diterima
dan digunakan sebelum pembukaan rekening khusus tidak dimasukkan ke dalam
rekening khusus. Berdasarkan pengalaman ini, KPUD perlu membuat pengaturan yang
tak hanya mewajibkan pasangan calon/tim kampanye mencatat transaksi tersebut
dalam rekening khusus, yaitu dengan mencatatnya sebagai saldo awal, tetapi juga
melaporkan seluruh transaksi sebelum pendaftaran pasangan calon dalam laporan
penerimaan dan pengeluaran dana kampanye pilkada.
Ketiga, pasangan calon/tim kampanye pasangan calon belum disiplin mencatat
dan melaporkan sumbangan pihak ketiga, yaitu mereka yang melaksanakan sejumlah
kegiatan kampanye (mengeluarkan dana) bagi pasangan calon tersebut dengan uang
sendiri dan/ atau menggunakan sumbangan pihak lain. Sumbangan yang diterima
dalam bentuk nonkas (in kind) juga belum dicatat dan dilaporkan oleh tim
kampanye. KPUD perlu menegaskan ketentuan ini ketika melakukan sosialisasi
kepada tim kampanye pasangan calon pemilihan kepala daerah.
Keempat, menurut ketentuan laporan penerimaan dan pengeluaran pasangan calon
merupakan laporan konsolidasi. Dari laporan kantor akuntan publik (KAP),
terlihat belum semua penerimaan kas dan nonkas tim kampanye daerah dicatat dan
dilaporkan. KPUD perlu mempertimbangkan pembuatan peraturan yang juga
mewajibkan tim kampanye daerah (tingkat kabupaten dan tingkat kecamatan untuk
pemilihan gubernur serta tingkat kecamatan untuk pemilihan bupati/wali kota)
mencatat dan melaporkan semua penerimaan dan pengeluaran, baik kas maupun
nonkas, sehingga termasuk yang akan diaudit oleh KAP.
Kelima, tidak semua sumbangan dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori
sumber sumbangan menurut undang- undang, yaitu partai politik/gabungan partai
politik yang mencalonkan, pasangan calon, dan perseorangan dan badan hukum
swasta. Bila sekelompok orang melakukan kegiatan usaha mencari dana dengan
menjual barang tertentu dan hasilnya disumbangkan kepada pasangan calon
tertentu, sedangkan sekelompok orang tersebut tidak mempunyai hubungan atau
perjanjian apa pun dengan pasangan calon, ke dalam kategori apakah sumbangan
ini dimasukkan. Sumbangan ini jelas tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori
sumbangan perseorangan karena melibatkan sekelompok orang. Sumbangan ini juga
tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori sumbangan badan hukum swasta karena
sekelompok orang tersebut tidak membentuk badan usaha. Apabila pasangan calon/
tim kampanye dapat melakukan kegiatan usaha mencari dana, KPUD perlu
mempertimbangkan hal berikut. Bila jenis usaha tersebut berupa penjualan
barang, sebaiknya sumbangan ini dikelompokkan sebagai sumbangan dunia usaha
walaupun tanpa status badan hukum. Bila jenis usaha tersebut berupa
penggalangan sumbangan dari sejumlah orang, sumbangan ini harus dikategorikan
sebagai sumbangan perseorangan.
Keenam, karena waktu yang tersedia untuk proses pelaksanaan audit hanya 15
hari, maka pengecekan yang dilakukan KAP terhadap semua bentuk sumbangan,
terutama penyumbang individual dan badan hukum swasta hanya secara acak dengan
kuesioner sehingga kurang menyeluruh dan mendalam. Oleh karena itu, apabila
memungkinkan, KPUD perlu mempertimbangkan waktu yang lebih memadai bagi KAP
untuk melakukan audit. Keterbatasan waktu yang tersedia dapat pula diatasi
dengan meminta lembaga pemantau, yang khusus memantau dana kampanye pilkada,
dan panwas, menyerahkan hasil pemantauan dana kampanye pilkada untuk digunakan
sebagai bahan audit oleh KAP.
Ketujuh, KAP perlu diberi kewenangan melakukan audit investigation bila
terjadi kesenjangan pengeluaran dan penerimaan dari laporan pasangan calon.
Dari segi penegakan hukum, berdasarkan hasil audit KAP terhadap laporan
pasangan calon, KPUD berwenang mengenakan sanksi pembatalan calon apabila
pasangan calon/tim kampanye terbukti: (a) menerima sumbangan/ bantuan lain dari
pihak negara, swasta, LSM, dan warga asing, (b) menerima sumbangan/bantuan lain
dari pihak yang tidak jelas identitasnya, dan (c) menerima sumbangan/bantuan
lain dari pemerintah, BUMN, dan BUMD. Selain itu, apabila pengadilan menyatakan
pasangan calon/ tim kampanye terbukti memberikan atau menjanjikan uang atau
materi lainnya untuk memengaruhi pemilih, KPUD juga harus mendiskualifikasi
pasangan calon tersebut. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, kewenangan
membatalkan calon seperti ini yang semula berada pada DPRD kini dialihkan
kepada KPUD karena KPUD-lah yang menetapkan calon.
Akan tetapi, UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 6 Tahun 2005 ternyata tidak
memberikan sanksi bagi penyumbang atau penerima sumbangan dana kampanye yang
melebihi jumlah maksimal yang ditetapkan dalam UU No 32 Tahun 2004. Bila
kekosongan hukum ini tidak segera diatasi, misalnya, mengaturnya dalam
peraturan pemerintah pengganti undang- undang (perpu) yang kini tengah
disiapkan oleh pemerintah, tidak saja tidak ada gunanya menetapkan batas
maksimal sumbangan dalam UU, tetapi juga akan memperlakukan pasangan calon lain
dan para pemilih secara tidak adil.
Banyaknya aturan yang belum lengkap mengenai dana kampanye mengakibatkan
sulitnya sumber dana kampanye dilacak KPUD. Apalagi, di dalam Peraturan
Pemerintah No 6/2005 tidak memberikan sanksi kepada calon kepala daerah yang
tidak memberikan laporan sumber dana kampanye kepada KPUD. Pasal 65 Ayat 6 PP
No 6/2005 menyebutkan, sumbangan dana kampanye dilaporkan dan disampaikan
pasangan calon kepada KPUD setelah diaudit kantor akuntan publik dalam waktu
satu hari sebelum masa kampanye dimulai dan satu hari sesudah masa kampanye
berakhir.
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Sistem Peradilan Pidana Indonesia dalam penangan
perkara suap amat menitikberatkan kepada permasalahan pembuktian. Kekuatan
pembuktian dalam kasus suap pilkada yang melekat pada setiap alat bukti
perlu ditelusuri terlebih dahulu apakah tindak pidana itu benar-benar
terjadi atau tidak karena bisa saja fakta-fakta yang dihadapkan kepada
pihak penyidik dan hakim di persidangan oleh salah satu pihak dibantah
oleh pihak lain. Mekanisme penanganan perkara suap pada sistem peradilan
pidana tetap mengacu kepada aturan hukum acara pidana (KUHAP) dan
menggunakan sanksi hukum yang terdapat dalam UU 32/2004 sebagai acuan
sanksi pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Disamping itu,
diperlukan keberanian para penegak hukum untuk melakukan terobosan dalam
melakukan penyidikan dan pembuktian suap pilkada.
- Suap pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung
relatif sulit untuk dibuktikan sehingga kasusnya sulit berlanjut lebih
disebabkan karena masalah bukti dan pembuktian. Selain alat bukti yang
sulit didapat, saksi pun tidak dijamin keberadaannya, sehingga proses
peradilan suap pun sulit untuk dilaksanakan. Disamping itu, UU 32/2004
sebagai perangkat hukum yang mengatur masalah pilkada menciptakan aturan
yang membuka peluang suap, baik di tingkat partai politik ataupun pada
setiap tahapan Pilkada. Disamping itu, lemahnya pengaturan (tidak
terperinci) masalah suap di dalam UU 32/2004 menjadikan pelaku suap dapat
dengan leluasa melakukan kejahatan pidana pemilu ini.
B. Saran-saran
1. Bagi daerah yang
sedang (dan akan) melakukan Pilkada, amat tepat bila KPUD menciptakan aturan
hukum berupa Keputusan KPUD yang dapat mengurangi suap, seperti transparansi
pencalonan dan penjaringan di tingkat partai politik dan pengaturan yang lebih
jelas masalah dana kampanye.
2. Upaya mengatasi
suap pada pilkada tidak saja menjadi peran dari para aparat penegak hukum untuk
mengatasi problematika ini. Dibutuhkan peran semua pihak, khususnya dalam
pihak-pihak yang berwenang dalam merumuskan sistem dan aturan hukum Pilkada
yang dapat meminimalisir terjadinya suap.
Daftar pustaka
http://fhuk.unand.ac.id/in/kerjasama-hukum/menuartikeldosen-category/941-penanganan-perkara-politik-uang-money-politik-pada-pemilihan-kepala-daerah-secara-langsung-article.html
http://irf4nh4kim.wordpress.com/2012/12/22/partisipasi-politik-dan-contoh-kasus/
http://mershaly.wordpress.com/2010/01/05/makalah-pemilu/